SULIT tapi dibanggakan, berikut enam kisah keutamaan menahan marah.
Nabi SAW bersabda, “Orang yang menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah SWT akan mengujinya dan membanggakan orang itu di hadapan makhluk-makhluk pada hari kiamat. Hingga akhirnya ia dipersilahkan untuk memilih bidadari yang ingin dipersunting nya.” Hadis riwayat at Tirmidzi dan Abu Dawud.
Kisah Keutamaan Menahan Marah: Maimun Ibnu Mahran
Maimun Ibnu Mahran meriwayatkan bahwa budak perempuan datang dengan membawa tempayan berisi kuah daging. Tiba-tiba tempayan itu terjatuh dan mengenai wajah Maimun.
Ketika ia hendak memukul budaknya, budak perempuan itu berkata, “Wahai Tuanku bacalah firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang.” (Quran surat Ali Imran 134)
Maka Maimun berkata, “Saya telah memaafkanmu.”
Kemudian budak perempuan itu berkata, “Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Quran Surat Ali Imron ayat 134)
BACA JUGA:Â Untuk Suami, Ini 7 Cara Redakan Istri saat Marah
Kemudian Maimun berkata, “Saya akan berbuat baik kepadamu dengan membebaskanmu, karena mengharapkan keridhaan Allah SWT.”
Kisah Keutamaan Menahan Marah: Umar Ibnu Abdul Aziz
Alkisah ketika Umar Ibnu Abdul Aziz hendak menyadarkan orang yang sedang mabuk, maka pemabuk itu menamparnya. Pemabuk itu terus menamparnya, lalu beliau kembali ke rumahnya.
Seseorang bertanya kepadanya, “wahai Amirul Mukminin, apakah karena orang itu telah menamparmu, lalu engkau meninggalkannya?”
BACA JUGA:Â Resep Salim Segaf Membina Keluarga Bahagia: Jangan Suka Marah-marah
Beliau menjawab, “karena orang itu telah membuatku marah. Saya khawatir jika saya menyadarkannya, maka hal itu didasarkan karena kemarahanku kepadanya dan saya tidak suka memukul orang lain karena membela diri.”
Kisah Keutamaan Menahan Marah: Luqman
Luqman berpesan kepada anaknya, “wahai anak ku. Ada tiga hal yang hanya dapat diketahui dengan tiga hal lainnya.
Pertama, seseorang tidak akan diketahui sebagai orang lemah lembut kecuali saat menghadapi kemarahan.
Kedua, seseorang tidak akan diketahui sebagai pemberani kecuali saat berperang.
Ketiga, seseorang tidak akan diketahui sebagai orang yang peduli kepada sesama, kecuali saat diminta bantuan oleh orang lain.”
Kisah Keutamaan Menahan Marah: Seorang Tabiin
Diriwayatkan seorang tabiin memuji orang lain di hadapannya. Orang itu berkata, “Wahai hamba Allah SWT, bisakah kamu memujiku pada saat saya sedang marah hingga kamu mendapati ku sebagai orang yang pemaaf?”
“Tidak” jawabnya.
Kemudian ia berkata lagi, “Bisakah kamu memujiku pada saat bepergian sehingga kamu mendapatiku sebagai orang yang berakhlak baik?”
“Tidak” jawabnya.
Ia kembali berkata, “Bisakah kamu memujiku pada saat saya mendapat kepercayaan sehingga kamu mendapati ku sebagai orang yang terpercaya?”
BACA JUGA:Â Marah dan Cara Mengendalikannya
“Tidak” jawabnya.
Yang berkata, “Kalau begitu, seseorang tidak boleh memuji orang lain, jika tidak dapat memenuhi hal-hal seperti ini.”
Dalam syair disebutkan:
Jangan kamu memuji orang lain hingga menjadi terlena
Dan janganlah menghina orang lain dengan alasan yang tidak jelas.
Kisah Keutamaan Menahan Marah: Al Faqih
Al Faqih berkata, “hendaknya kamu dapat bersabar saat marah dan janganlah kamu terburu-buru memutuskan suatu masalah saat kamu sedang marah.
Karena ke terburu-buru an itu bisa menyebabkan tiga hal:
Pertama, penyesalan terhadap diri sendiri.
Kedua, penghinaan dari orang lain.
BACA JUGA:Â 6 Cara Hadapi Orang Marah Secara Damai
Ketiga, penyiksaan dari Allah SWT.
Kisah Keutamaan Menahan Marah: Al Ahnaf Ibnu Qais
Al Ahnaf Ibnu Qais pernah ditanya, “Apakah kemanusiaan itu?”
Ia menjawab, “Tidak rakus kekuasaan, pemaaf saat berkuasa, dan selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain.”
Ulama terdahulu pernah bercerita. Ada seseorang yang memiliki seekor kuda. Suatu hari, orang itu datang dengan menaiki kudanya. Tiba-tiba, iya melihat 3 buah tiang.
Ia berkata kepada budak laki-lakinya, “Siapa yang telah membuatnya?”
“Saya” jawab budak laki-laki itu.
Ia kembali bertanya, “dengan alasan apa kamu melakukannya?”
“Saya ingin mengajarimu” jawab budak laki-lakinya itu.
Ia berkata, “Saya akan menerima pelajaran dari siapapun. Pergilah sekarang kamu bebas dan kuda ini untukmu.”
Dalam syair disebutkan:
Dalam keadaan marah, bukan dalam keadaan senang
Akan tampak jelas perbedaan antara pecinta dan pembenci.”
Sumber : Buku: Nasihat Langit untuk Maslahat di Bumi, Oleh: Syekh Abdul Hamid Al-Anquri (Ulama Abad ke-8)