KIAI Subhan Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi Brebes yang juga salah satu Rais Syuriyah PBNU mengisahkan pengalaman menariknya saat berdakwah.
Pada 1994 Kiai Subhan pernah diundang untuk mengisi sebuah acara khataman kitab Ihya ‘Ulumidin di sebuah pesantren di Kabupaten Tegal. Saat itu beliau masih harus diantar jemput oleh panitia.
Hari yang ditetapkan pun tiba. Panitia telah datang dan menunggu sang kiai untuk bersama menuju ke pesantren tempat acara diselenggarakan. Apa yang semestinya dilakukan oleh seorang pembicara dalam sebuah acara pengajian pun dilakukan oleh Kiai Subhan. Beliau sampaikan mau’idhah kepada para hadirin. Dan usai acara panitia kembali mengantar beliau pulang ke rumah.
Namun Kiai Subhan meminta untuk diantar ke rumah mertua yang letaknya tak jauh dari tempat pengajian. Maka panitia penuhi permintaan itu. Tiba di rumah mertua kiai, panitia langsung undur diri dengan satu catatan; tanpa memberi ‘amplop’ sebagaimana layaknya mubaligh diberi bisyarah. Kiai Subhan hanya diam.
Ketika hendak pulang ke pesantrennya sendiri di Brebes kepada sang mertua beliau meminta sedikit uang untuk ongkos pulang. Mendengar permintaannya ini sang mertua tertawa kecil seraya berkata, “Lha apa tadi tidak dikasih amplop? Kok mau pulang saja minta sama mertua.”
Kiai Subhan menjawab singkat, “Tidak.”
Pada kesempatan yang lain pada tahun 1995 pesantren yang sama kembali mengundang beliau untuk mengisi satu acara peringatan haul pendiri pesantren. Kali ini sang kiai tak lagi diantar jemput panitia karena telah memiliki mobil sendiri. Maka pada hari yang telah dijadwalkan beliau berangkat sendiri ke tempat acara dengan membawa uang saku secukupnya.
Apa yang terjadi pada tahun lalu kembali terulang. Ketika Kiai Subhan pamit pulang, lagi-lagi tuan rumah tak memberi ‘amplop’ atau apa pun kepadanya. Entah mengapa.
Untuk yang ketiga kalinya Kiai Subhan kembali diundang dalam acara khataman kitab Fathul Mu’in. Pun saat selesai acara beliau kembali tak diberi amplop oleh tuan rumah.
Namun beberapa kali berikutnya sang pengasuh pesantren yang mengundangnya hadir ke rumah Kiai Subhan. Kepada Kiai Subhan sang tamu mengatakan “Mohon maaf kiai, tiga kali saya mengundang Pak Kiai untuk mengisi acara di pesantren saya namun tidak pernah saya beri amplop. Itu bukan karena saya lupa. Itu memang saya sengaja untuk menguji apakah Pak Kiai benar-benar ikhlas atau tidak.”
Sampai di sini Kiai Subhan sempat terkejut seraya tersenyum kecil. Dan belum juga beliau berkomentar sang tamu kembali meneruskan bicaranya.
“Sekarang, setelah saya tahu betul keikhlasan Pak Kiai mulai saat ini anak-anak saya akan saya pondokkan di pesantren asuhan Pak Kiai ini,” ungkap sang tamu.
Maka mulai saat itu beberapa anak kiai pesantren itu dipondokkan di pesantren asuhan Kiai Subhan Makmun.
Kisah ini diceritakan KH Subhan Makmun pada kajian kitab Tafsir Al-Munir di Islamic Center Brebes. Dalam kajian rutin yang sebagian besar jamaahnya para kiai dan ustadz itu Kiai Subhan mengajarkan, “Kalau ingin ilmu yang diajarkan benar-benar meresap ke hati para santri, maka ustadz harus benar-benar ikhlas mengajar ngaji. Jangan pernah berharap balasan. Berpeganglah pada satu ayat in ajriya illâ ‘alallâh. Upah dakwahku aku serahkan kepada Allah. Allah pasti memberi jalan yang lain untuk kehidupan kita.” []
SUMBER: http://www.nu.or.id/post/read/87726/ketika-sang-kiai-diundang-berkali-kali-dan-tak-diberi-amplop