Oleh: Rizki Lesus
Peneliti pada Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Di antara lorong-lorong kota. Di pijakan lantai-lantai gedung menantang langit bermandikan cahaya bulan dan gemerelap jantung Ibu Kota. Di antara deru kendaraan yang terus melaju, di atas kereta memeluk tas gendong, di dalam berdiri bus berdesakan, di atas motor menyalip arus gesit, di dalam angkot menahan kantuk, atau menahan kopling di dalam mobil pribadi. Semua terasa nyaman, berjumpa dengan keluarga di malam larut, hingga menghabiskan uang di akhir pekan.
Begitu nikmatnya, hidup berpeluh keringat di dalam ruangan ber-AC, pulang berjumpa anak dan istri, menikmati tayangan saluran yang begitu beragam, tertawa terbahak hingga pulas tertidur. Jarang ada lagi tangis, atau sejumput syukur yang mengalir, hanya tinggal kenangan waktu kecil pernah mengheningkan cipta dan sayup mendengar sepenggal kisah bambu runcing yang entah masih diingatnya atau tidak.
Bambu runcing? Kini ia kian menumpul. Diikat tali disudutnya, empat bilah bambu membentuk kotak. Diikatnya baliho besar, wajah-wajah dengan peci, berwarna warni dengan janji-janji semanis madu. Lima tahunan sekali, katanya, wajahnya terpampang bangga, akan amal nyatanya. Dihabiskannya modal dari kocehnya atau koceh pendukungnya, hingga stres menjumput, ketika tau dirinya tak masuk pilihan rakyat.
Ratusan juta, milyaran, triliunan dikeluarkan. Gagallah dirinya, dibopong lagi TV dan tikar yang diberikan di pos ronda kampung sebelah dengan sumpah serapah. Sebagian diboyong ke Rumah Sakit Jiwa. Kisah bambu yang tak lagi runcing yang memilukan, yang kini hanya membisu memajangkan wajah para pembangga amal. Dulu sekali, bambu itu berkisah yang kisahnya termakan oleh zaman, berkisah tentang masa kini, tempat kita berpijak.
“..Bambu ini..” kata KH Wahid Hasyim memecah keheningan. Putera pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu mulai berkisah sambil menghela nafas. Kala itu ia berada di dalam mobil menuju kota Parakan di tengah Pulau Jawa, tempat di mana lautan manusia berduyun-duyun berdatangan memanggul sebilah bambu runcing ujungnya sepanjang dua meter dari Parakan sepenggal Juni ‘46.
”..Iya! Tidak saja berpengaruh dalam perjuangan politik, tetapi dalam kehidupan bangsa dan kebudayan di masa yang akan datang,” lanjut pria yang akrab dipanggil Gus Wahid sambil melirik pria muda berusia 27 tahun, diriku yang sedang serius menyimak setelah menanyakan apa arti sebilah bambu runcing Parakan bagi umat Islam dalam perjuangan politik.
Mobil bertuliskan ‘Hizbullah fi Sabilillah’ itu berhenti sejenak. Di hadapan, ribuan orang lalu lalang. Truk-truk itu penuh dengan manusia membopong bilahan bambu runcing ke dan dari Parakan. “Allahu Akbar..” takbir itu menggema pada terik yang menggantung di siang hari dan dalam malam sunyi pekat tanpa listrik, karena Sekutu mulai merangsek dan tiba di pelabuhan-pelabuhan penting dan menyerang kota-kota di Indonesia yang baru seumur Jagung. Para pemimpin Negara harus memindahkan Ibu Kota hingga ke Yogyakarta.
Bambu di Parakan memang memegang peranan penting, lantaran tinggal para Kyai terutama KH Subeki yang sudah berusia kepala 9 atau yang sering dipanggil Mbah Subeki yang didatangi para pemimpin dan masyarakat untuk mendoakan mereka berjuang.
“Di mana-mana orang membicarakan bambu runcing. Pak Dirman (Panglima Besar TKR) sendiri tertari akan momentum Parakan. Dan pengaruhnya bagi para prajurit dan para pejuang di medan pertempuran sangat positif,” kata Gus Wahid yang kala itu menjadi Pimpinan Bidang Pertahanan DPP Masyumi.
Sambil melaju pelan, membalas salam para pejuang, Gus Wahid melanjutkan, “perjuangan bersenjata melawan Belanda akan segera berakhir hanya memerlukan beberapa tahun saja, dan kita akan menang, insya Allah. Tetapi perjuangan yang lebih lama dari itu adalah perjuangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pembangunan akhlak. Perjuangan itu akan berlangsung lama, memerlukan kebijaksanaan dan kesabaran.” Nasihatnya.
Aku berpikir sejenak, apakah benar kita akan mengalahkan Belanda, dan di masa depan perjuangan politik, kebudayaan, akhlak akan lebih berat? “Kurang berat apa perjuangan ini..” aku menghela nafas. “Siang maupun malam mereka membajiri Parakan..” gumanku. Aku sendiri melihat, bahwa kereta sudah tak mampu lagi menampung mereka membawa sebilah bambu. “Mereka menjadi puas setelah pulang dari Parakan. Hatinya dalam semangat tinggi melawan musuh yang hendak merobek Republik Indonesia..” pikirnya.
Dalam lamunannya, merasuk ke dalam hatiku, “Mereka telah mencari sesuatu, dan sesuatu itu telah mereka temukan. Dengan bambu runcing, keraben, golok-golok, dan mitraliur yang telah di “Sabilillah” kan di Parakan, jiwa mereka menjadi teguh. Mereka menjadi sadar, untuk apa mereka ini mengikhlaskan pengorbanan bukan Cuma tenaga, harta, bahkan jiwanya sekalipun,” batinku menahan haru.
Bagiku yang tak menyangka kelak akan menjadi Kyai besar, Menteri Agama era Soekarno, semuanya dengan tulus berjihad fisabililillah. Bambu runcing itu menjadi saksi, debu-debu jihad yang mengorbankan seluruhnya. Aku tak menemukan orang yang ‘hanya’ mengorbankan hartanya, lalu ia tak mendapat jabatan, ia menjadi gila.
Aku pun tak menemukan orang yang berbangga telah beramal lalu dengan lantang berteriak “Inilah amal dan kerja kami! Maka pilihlah kami!”. Yang ku lihat ialah Menteri Keuangan Bung Syafruddin yang menganjurkan berhemat bahkan tak punya uang. Menteri Luar Negeri Agus Salim yang mewakafkan dirinya untuk umat. Mr. Moh Roem yang merelakan kakinya menjadi pincang. Menteri Penerangan Pak Natsir yang nyaris merenggut maut dalam hijrah.
“Yah beginilah resiko berjuang. Jangankan rumah, Republik kita ini sudah dibakar dan diobrak abrik Belanda..” lirihku sambil menyeka air mata yang berlinang. Begitu berat pengorbanan umat Islam di Indonesia ya Rabb, mulai dari para pemimpinnya hingga masyaakat kecil, semua berjuang. Biarlah Allah saja yang membalas semuanya, hanya dengan pertolonganNya, kelak negeri ini terbebas dari penjajahan.
“Bangsa ini sudah tahun sumbangan umat Islam terhadap kemerdekaan kita?” tanyaku kepada Gus Wahid. Sambil membetulkan kaca mata yang melorot, Gus Wahid melanjutkan,“Ya..sekarang! Tapi generasi mendatang tak semuanya tahu. Bahkan, sering memalsu sejarah dengan maksud menutup-nutupi saham umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan kita,” tangkisnya.
“Itu kan manipulasi politik dan tidak adil!” tukasku yang saat itu menjadi pimpinan Masyumi wilayah Magelang dan Ketua Konsul NU wilayah Kedu.
Dengan tenang, Ayah bocah Gus Dur itu melanjutkan,“Memang, yang menetapkan sebagai manipulasi politik dan tidak adil itu kan norma. Orang Jawa bilang: panuger atau negar! Tidak semua orang –Jawa- seperti kita yang senantiasa menjunjung tinggi norma—norma. Dalam dunia ini banyak orang yang menganut faham ‘Het doel heilige de middelen’ (tujuan menghalalkan segala cara) untuk tujuan politik, tujuan memperoleh keuntungan materi, ada tujuan merebut kekuasaan dan pengaruh.” Ungkapnya.
“Dalam konteks masa depan, apa pengaruh bambu runcing Parakan itu?” aku makin penasaran.
“Perjuangan di masa depan akan diemban oleh generasi mendatang pula. Barangkali angkatan saya sudah tidak ada lagi. Kalau kita tak memancangkan pilar-pilar yang kita sendiri pasang, di masa depan tak bakal ada saksi-saksi yang berbicara bahwa kita –umat Islam- telah pernah berbuat,” Gus Wahid berhenti sejenak, merenung, melihat di hadapan mobil kembali tertahan lautan manusia.
Aku berpikir sejenak. Generasi masa depan? Siapakah? Generasiku? Generasi ini? Apakah memang benar, generasi ini akan melupakan perjuangan para pendahulunya? Tak mungkin, umat Islam mayoritas di Indonesia, mana mungkin, untuk menjalankan syariatnya saja tidak bisa? Pikirku…
“Nah, di mana-mana orang membanjiri Parakan…,” kata Gus Wahid. “Sampai di mana saya tadi bicara? Oh.., ya..membuat momentum sejarah itu amat penting bagi perjuangan di masa yang akan datang,” lanjutnya.
“Pengalaman saya, ketika kami para pemimpin Islam berdebat dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai membuktikan jika umat Islam Indonesia tidak bernah berjuang dalam dalam NU, dalam Muhammadiyah, PSII, dan MIAI, dalam ‘Majelis Syuro Muslimin Indonesia’ (Masyumi) dan lainya, dan jikalau kita tidak pernah memperlihatkan sikap non-cooperation kita terhadap kekuasaan Belanda, tentu tidak bakal melahirkan cita-cita dasar Negara yang dirumuskan menjadi Pancasila (22 Juni) itu. Sebab, aliran yang hendak mendirikan Negara nasional yang sekuler atau Negara ala Majapahit itu demikian ngotonya untuk mengimbangi cita-cita Negara Islam. Sejarah Indonesia mengalami zaman pergerakan politik yang menciptakan pola golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam..” ungkap Gus Wahid serius.
“Kalau demikian perjalanan kita masih panjang,” kataku.
“Ya masih sangat panjang dan tergantung apa yang kita kerjakan pada waktu sekarang. Apa yang telah dicapai sebagai komitmen nasional pada waktu sekarang, tidak mustahil bakal diganggu gugat orang, karena politik tak mengenal komitmen permanen. Dalam politik –praktis- hanya ada kepentingan atau interest lah yang permanen.”
“Para pemimpin kita, masa ‘kan hendak mengingkari kenyatan yang ada,” kataku memotong pembicaraan.
“Dalam pertemuan formal memang diakui oleh sebagian besar dari mereka. Dengan Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman, dan lain-lain sering saya ungkapkan dan mereka sependirian dengan kita. Tapi umur manusia’kan terbatas, mereka toh tidak bakal hidup di tengah-tengah kita buat selama-lamanya. Sejarah generasi manusia sering mengalami kenyataan seperti yang difrimankan dalam Al Quran (Gus Wahid membacakan bunyi ayatnya dan terjemahannya)
“Sesudah mereka datanglah suatu generasi berikutnya, mereka melalaikan shaat, mereka hanya menuruti ambisi hawa nafsu mereka, Tapi pastilah mereka bakal mengalami kebinasaa.”(QS Maryam 59)
Sungguh, jangan sampai Allah berikan generasi depan, generasi yang melalaikan shalat. Generasi yang tak peduli lagi, bahwa agama menjadi pertimbangan dalam bernegara. Generasi yang melupakan agama, disimpan sejenak dibelakang. Generasi yang hanya menuruti hawa nafsu mereka. Menumpuk-numpuk rekening, membawa kelompok – CS — nya sendiri dalam lingkarang kekuasaan dan main proyek.
Sungguh, entah, mungkin saja generasi seperti itu akan terjadi. Maka tunggulah kebinasaan, atas generasi tersebut. “Alangkah dahsyatnya arti Parakan dalam revolusi kemerdekaan kita,” seru Gus Wahid sambil telunjuknya menuding iring-iringan orang banyak.
“apakah gema Parakan terdengar ke mana-mana Gus?”
“Tentu, asal orang tak tuli saja, Orang tuli pun merasakan getaran merasuki tlang dan sumsum. Lihatlah sepanjang jalan di Jawa. Tak ada putusnya barisan menyandang bambu runcing dari Parakan. Para petugas kereta api, terutama di stasiun-stasiun persimpangan, seperti Kertosono, Solo, Yogyakarta, sering dibikin pusing karena gelombang-gelombang orang banyak minta disediakan gerbong tambahan maupun formasi kereta api ekstra Jurusan Parakan. Padahal gerbong sudah tidak ada lagi. Jika diadakan formasi kereta api ekstra pun harus diperhitungkan keselamatannya agar tidak mengacaukan waktu yang telah direncanakan bagi perjalanan kereta api.”
“Bagaimana penilaian para pemimpin kita?” tanyaku penasaran.
“Selamanya ada yang positif dan negatif. Jangan lupa, yang pro kita pada akhirnya hanyalah kita. Adapaun yang berpandangan positif, mudah-mudahan mereka konsekuen hingga akhirnya tetap berpendirian bahwa umat Islam telah mempertaruhkan nyawa mereka dalam menegakkan kemerdekaan dan dalam meratakan cita-cita nasional. Adakah yang lebih mahal dibandingkan dengan nyawa?
Aku merenung sejenak. Begitu besarnya pengorbanan mereka. Apakah kelak, seperti ungkapan Gus, semua akan dilupakan begitu saja? Belum lama berpikir, Gus Wahid sudah melanjutkan.
“Yang harus dijaga, jangan sampai umat Islam tidak memperoleh hak-hak mereka secara politis. Jika perang sudah usai, maka fase perjuangan hidup mati sudah dilewati, tentu orang-orang mulai mengisi kemerdekaannya dengan usaha membangun bangsa dan Negara. Moga-moga saja saham umat Islam di masa paling sulit itu tidak dilupakan. Biasanya manusia itu mudah melupakan kawan dan membuang arti sifat solidaritas apabila kepentingan politis, ekonomi, maupun kepentingan golongan mulai menonjol –kullu hizbin bimaa tadaihim farihuun- tiap golongan sealu mengutamakan golongannya sendiri sehingga kepentingan golongan lain,” katanya.
‘apakah ada pengalaman politik pada waktu sekarang?” tanyaku.
“Ada, yaitu yang bertalian dengan konstitusi kita. Mula-mula masing-masing pihak memperjuangkan cita-citanya yang sudah amat terkenal sejak zaman kebangkitan nasional, yaitu apa yang bernama pola Negara nasional sekuler dan pola Negara Islam. Atas good will kedua pihak sepakat maka dilahirkan persetujuan nasinal dalam bentuks sebuah charter bernama Jakarta Charter, Pancasila tanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh 9 orang pemimpin yang mewakili golongan Islam, Nasionalis sekuler, dan Kristen. Mereka itu: Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh Yamin, H Agus Salim,A bikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkhir dan Saya (Gus Wahid) dan Mr. Aa Maramis,” Gus Wahid berhenti bicara menyeka keringat pada dahinya, yang nampak menahan perasan haru, bulir bening berkumpul di sudut matanya.
“Setelah hampir dua bulan berhalan dengan tenangnya, maka pada atanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tatakala kami hendak mengesahkan UUD 1945, timbul situasi baru. Dalam preambule UUD Pada Bagian yang berbunyi “..dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu tiba-tiba digugat oleh satu golongan disertai ancaman serius, hendak memisahkan diri.” isaknya.
Kami terdiam sejenak. Tak terasa, perjalanan sudah tiba di Parakan. Di hadapan kami sebuah Masjid Jami, tempat kawan-kawan Masyumi dan Hizbullah berkumpul. Di sana, Mbah Subeki dikerumuni para pejuang yang berdatangan tak henti-hentinya.
Aku merenung sejenak. Sungguh, sepertinya tak mungkin, kelak, orang akan melupakan cita-cita besar para pendahulunya. Rasanya tak mungkin, kelak akan lupa rasanya berjuang, dan hanya memikirkan dirinya. Kini para ulama menggerakkan agar masyarakat shaum sunnah, tilawah, dan sebagainya penguatan atas pertolongan Allah. Rasanya tak mungkin, kelak semuanya akan dilupakan.
Rasanya tak mungkin, kelak malam-malam itu dilalui dalam senyap tanpa rintihan, tanpa tangisan, tanpa berdiri panjang seperti laiknya kini. Para ulama dengan syahdu memohon pertolongan semoga pasukan yang hanya bermodal ‘bambu’ itu bisa dimenangkan. Rasanya, tak mungkin, kelak generasi depan meninggalkan jihad fisabililillah seperti laiknya sekarang dan zaman Rasul dan para sahabat.
Apa mungkin, kelak seperti kata Gus Wahid, bambu runcing parakan ini akan terkubur menjadi bambu tumpul? Begitu berat perjuangan hingga meregang nyawa, mana mungkin kelak bambu ini menjadi tumpul dan dijadikan ajang pamer ‘ini amal saya’ sambil terpampang ‘pilihlah diriku’.
Seperti kelak ungkapan Pak Natsir, ”Dahulu mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran , kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yang merdeka, ayng mereka ingin kan dan cita-cita kan sejak berpuluh, berates tahun yang lampau. Semua orang-orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai . Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat.”
Rasanya tak mungkin, seperti ungkapan Gus, “Yang harus dijaga, jangan sampai umat Islam tidak memperoleh hak-hak mereka secara politis..” Rasanya mustahil, umat Islam yang diharamkan miras, malah kelak akan dilegalkan hingga mudah menemukan di warung-warung modern kelak. Rasanya mustahil, wanita diwajibkan Allah berjilbab, kelak akan institusi Negara yang melarang wanita berjilbab. Rasanya mustahil, akan ada masa di mana, ngomongin agama suatu yang tabu.
Padahal lihatlah bibir-bibir ribuan pejuang itu di hadapan kami. Yang basah melafalkan:
Bismillahi bi aunillah
Allahu Ya Hafizhu ya Hafizhu
Allahu Akbar
Suara itu bergema di sudut Parakan, menerangi hingga pelosok-pelosok hutan. Bahwa Allah lah satu-satunya pelindung dan penolong. “Di mana-mana gegap gempita takbir. Suatu pembangkit jiwa berjuang yang memandang semua yang ada harus dikorbankan, kecuali iman di dada. Dengan iman ini tanah air akan dibersihkan dari noda bencana dan penjajahan” gumanku mantap.
Jika iman ini membersihkan noda bencana dan penjajahan, maka kelak dengan hanya dengan iman pula, bangsa ini akan bangkit. Bila Allah yang menolong, siapakah yang dapat mengalahkanNya?
Diri ini hanyut dalam tangis, syukur tiada henti, ketika tiba di Parakan. Bersua dengan para Ulama yang menghibahkan dirinya. Air mata ini terus mengalir dalam sujud jama’ takhir, di Mesjid Agung Parakan yang dipenuhi lautan manusia yang berguman Bismillahi bi aunillah Allahu Ya Hafizhu ya Hafizhu Allahu Akbar. Tangis itu kian menjadi, meleleh, membasahi bumi jihad di Nusantara. Dengan iman, Allah berikan kemenangan dan pertolonganNya. Mungkinkah di masa yang akan datang, iman itu terlupa? []
BERSAMBUNG
(Kisah ini hanya sebuah cerita pendek. Terinspirasi dari dialog nyata KH Saifudin Zuhri dan KH Wahid Hasyim dalam ‘Guruku orang-orang Pesantren’ dan ‘Berangkat dari Pesantren’.)