DI halaman sebuah masjid tumbuhlah sebatang pohon berdaun lebat. Setiap pagi sesudah shalat subuh secara berjamaah, seorang janda yang telah lanjut usia kerap menyengaja pulang paling akhir untuk mengutip satu demi satu daun kering yang terjatuh dari pohon itu.
Dengan sabar, daun-daun yang berserakan dipungutnya lalu dimasukkan ke selendang dan digendongnya untuk dibawa pulang. Padahal di masjid telah disediakan sapu dan bak sampah. Semua orang heran dengan perilakunya, namun mereka enggan bertanya sebab janda tua itu tuna wicara.
Hingga pada suatu malam selepas pengajian diumumkan bahwa esok hari, pohon yang telah berusia puluhan tahun itu akan ditebang oleh pengurus masjid. Mendengar berita tersebut, sang janda tua menangis.
Keesokan harinya, pekerjaan memungut daun selepas ibadah shalat subuh tetap dilaksanakannya. Namun tidak seperti biasanya, sesudah selesai memungut daun-daun yang berserakan, ia memilih bertahan di masjid.
Saat pengurus masjid datang membawa peralatan untuk menebang pohon, tiba-tiba janda tua itu memeluk pohon kuat-kuat. Orang-orang berpikir dirinya sudah menjadi gila karena mencintai pohon, jika tidak bagaimana mungkin dirinya memeluk pohon saat akan ditebang disertai dengan linangan air mata.
Saat ada pegurus masjid yang mendekat, janda tua itu bersimpuh dan dengan isyarat tangan, dirinya memohon agar pohon itu tidak ditebang. Kemudian, ia mengeluarkan secarik kertas. Pengurus masjid itu membacakannya di depan hadirin sekalian.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu…
Semoga Allah memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan kemuliaan untuk seluruh pengurus masjid.
Sungguh, andai saja Allah memberikan anugerah suara, ingin kusampaikan sebuah permohonan. Aku bermohon dengan sepuluh jemari-sebelas bersama kepala, pohon ini janganlah ditebang.
Pohon ini satu-satunya warisan yang ditinggalkan almarhum suamiku sebelum meninggal dunia. Saat itu, ia menikahiku meskipun tahu diriku tidak bisa memiliki anak karena mandul.
Kemudian, pada malam pertama kami menikah, suamiku membawaku ke masjid ini.
Ia menanam sebatang pohon, sembari berkata, “Istriku, aku menikahimu karena Allah. Meski kita tidak mendapat keturunan, sebagai gantinya mari kita tanam pohon ini di depan Masjid. Kelak, rawatlah pohon ini dengan kasih dan sayang.
“Bukankah tumbuh-tumbuhan juga bertasbih pada-Nya, jadi anggaplah pohon ini anak kita dan rawatlah dengan kesungguhan cinta, semoga saja pohon ini kelak mengerti betapa tulus kasih sayang kita selaku orang tua angkatnya.”
“Itulah mengapa, diriku tidak menggunakan sapu saat membersihkan daun-daun yang beguguran dari rantingnya, karena aku tak ingin menyakiti pohon yang sudah kuanggap darah dagingku.
“Aku tak ingin bagian dari anakku terluka, maka kupungut setiap helai daun yang beguguran dari rantingnya seraya berdzikir semoga Allah kelak bukan hanya menumbuhkannya di dunia tetapi juga di surga-Nya.
“Aku berdoa, semoga kelak pohon ini akan kembali menjadi saksi bahwa pernikahan karena Allah itu landasan utama untuk berumah tangga. Meskipun diriku berkenan suamiku berpoligami karena aku tak bisa hamil, dirinya tidak mau.
“Sebab baginya anak itu dilahirkan atas dasar kesucian jiwa pada penerimaan batin, jika batin mampu menerima sebatang pohon sebagai anak yang bisa dibesarkan dengan cinta kasih, mengapa memaksakan diri untuk berpoligami padahal bisa jadi saat berpoligami lebih didasarkan nafsu birahi.
“Suamiku tidak ingin meyakiti perasaanku, ia tak ingin mengutamakan birahinya semata.
“Aku mengusulkan padanya bagaimana sekiranya jika mengangkat anak dari panti asuhan. Lagi-lagi suamiku menolak, ia percaya Allah masih bisa memberi keajaiban.
“Buktinya Nabi Zakaria masih bisa diberi keturunan meski usianya mencapai 100 tahun, yang terpenting selalu berdoa dan sebagai gantinya suamiku mengajakku merawat pohon ini seperti anak kandung sendiri. Namun, hingga ajal menjemputnya diriku tidak bisa hamil. Pada saat ia akan meninggal dalam keadaan sakit, ia masih berpesan, “Bagaimana pun caranya, rawatlah pohon itu sepeninggalku, jangan biarkan siapa pun menyakitinya.”
“Dari itu, kepada seluruh pengurus masjid. Aku mohon jangan bunuh anak kami, pohon inilah satu-satunya yang kami anggap keturunan dari pernikahan kami. Semoga Allah membuka mata hati kalian agar mewujudkan keinginanku ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu.”
Setelah mendengar pembacaan surat itu, hadirin sekalian menangis. Bahkan banyak suami yang tiba-tiba memeluk istrinya, atau hanya sekadar memegang tangannya dengan erat.
Sungguh, inilah cinta karena Allah. Meski almarhum suami janda tua diberikan izin poligami, ia tetap memilih untuk beristri satu saja.
Baginya, menikah itu diniatkan ibadah maka proses membimbing istri menuju rumah tangga sakinah, mawaddah, warahmah menempati urutan utama. []
Arief Siddiq Razaan, 25 Oktober 2015.