SEBUAH riwayat pernah menceritakan ketika perang usai tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Usama bin Zaid ibn Haritsah yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya.
Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.
BACA JUGA: Beraninya Kausebut Agamaku sebagai Alasan Kematianmu (Bagian ke-3)
Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.
Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat? Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang seewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.
Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: “Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair,” yang artinya: “Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang.” (KH Nasaruddin Umar, Khutbah-khutbah Imam Besar, 2018)
Jawaban ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain apalagi dengan mengafirkannya. Saling mengafirkan inilah yang menjadi fenomena umat Islam di zaman kini. Bahkan fenomena yang dilkukan oleh kelompok tertentu itu tidak hanya ditujukan kepada umat lain, tetapi juga ditujukan kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan, dan lain-lain.
Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan terbuka, maka umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Hal ini bukan berarti ketika dia masih kafir lalu umat Islam boleh mengusiknya. Umat Islam tetap harus menghargai dan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan terus berperilaku dan berdakwah dengan cara sebaik-baiknya.
BACA JUGA: Jin Kafir, Musuh Utama Manusia
Soal ada pelanggaran lain, biarkan hukum formal yang akan menyelesaikannya. Atas langkah yang diambilnya itu, Usamah pun langsung memohon maaf kepada Rasulullah SAW dan berjanji akan berhati-hati jika menemui peristiwa seruap di kemudian hari. Karena jika seseorang dieksekusi dengan tuduhan tertentu, maka yang turut menjadi korban adalah keluarga dekat orang tersebut. []
SUMBER: NU