Penyebutan nama Islandia telah ada sejak ditemukannya wilayah bersalju yang berada di kutub utara bumi. Adalah seorang ilmuwan terkemuka asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad Al Idris al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti (1099- 1166), seorang ahli geografi terkemuka dalam sejarah dan juga dikenal sebagai pendiri ilmu geografi.
Dalam bukunya berjudul “Nuzhatul Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afaq” atau yang dikenal dengan nama Kitab Roger, Muhammad al-Idrisi telah menyebutkan keberadaan Islandia yang terletak di Laut Utara.
Kitab Roger sendiri menjadi rujukan ilmu geografi bangsa Barat, khususnya di zaman kebangkitan Eropa (Renaissance). Buku ini dituliskan Muhammad al-Idrisi atas permintaan Raja Sisilia, Roger II.
Dari catatan tersebut menyatakan bahwa para pedagang Islam telah menjalin kontak dengan Islandia sejak abad pertengahan. Ini dibuktikan dengan ditemukannya koin-koin Arab di Islandia.
Setelah agama Kristen masuk ke Islandia pada sekitar tahun 1000 Masehi, terjadi banyak gesekan antara masyarakat Islandia dengan dunia Islam selama perjalanan suci mereka ke kota Al Quds, seperti dikodifikasikan dalam buku-buku Islandia kuno.
Dan sejak akhir abad ketiga belas, Islam digambarkan buruk di mata penduduk Islandia, termasuk di negara-negara Eropa lainnya. Hal ini dipengaruhi Perang Salib antara Kristen dan Islam memperebutkan kota Al Quds, sehingga pihak Salib banyak melemparkan kesalahpahaman mengenai ajaran Islam di Barat selama Abad Pertengahan.
Citra Islam yang sebenarnya kembali muncul di Islandia pada tahun tujuh puluhan abad terakhir melalui imigrasi dari dunia Islam, seperti warga Palestina dari kota Al Quds Timur, Salman Al Tamimi, yang pindah ke Islandia pada tahun 1971, dan mendirikan Persatuan Muslim Islandia pada tahun 1997. Kehadiran meningkat Islam dengan migrasi pengungsi ke Islandia, terutama dari Kosovo.
Dan saat ini menunjukkan sekitar 1200 Muslim tinggal di Islandia dari total keseluruhan penduduk sebanyak 350 ribu jiwa.[]