RUMAH tangga pun berjalan. Kurang lebih setahun lamanya pernikahan itu berjalan. Zaid mencoba menjadi pemimpin rumah tangga. Zainab pun mencoba untuk menjadi istri. Mereka pasti telah saling mencoba untuk mendekatkan perbedaan yang terlalu jauh. Mereka pasti telah mencoba untuk mempertahankan keluarga.
Dan badai itu pun datang tak tertahankan. Zaid memendam bara dalam hati. Ia telah mencoba untuk menyabarkan dirinya selama masa penyesuaian setahun itu.
Tetapi akhirnya meledak juga. Ia pun datang kepada Nabi mengadukan rumah tangganya yang ada di ambang keretakan. Dan kisah itulah yang diabadikan dalam ayat ke-37.
Hati-Hati dengan Ketidaksetaraan
Kafaah atau kufu’ (kesetaraan) menjadi pembahasan di kalangan para ulama. Mereka sepakat bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah dalam hal ad din (agama). Tetapi kisah di atas memberikan pelajaran yang berbeda.
BACA JUGA: Zaid Ingin Pandangan Terakhirnya adalah Wajah Nabi
Ketidaksetaraan antara Zaid dan Zainab telah menghasilkan pelajaran pahit bagi sebuah keluarga. Al Biqo’i menjelaskan singkat pada ayat ( واتق اللّ/ Dan bertaqwalah kepada Allah),
“Yaitu kepada Yang Memiliki semua kebesaran pada semua urusanmu, khususnya yang berhubungan dengan hak-haknya (istri). Dan janganlah kamu marah kepadanya dengan perkataanmu: Dia (istriku) menyombongkan dirinya di hadapanku – dan yang lainnya.”
Al Alusy dalam tafsirnya juga menjelaskan,
“Zainab bin Jahsy berkarakter keras. Dan dia terus membanggakan kehormatan dirinya di atas Zaid. Zaid mendengar hal-hal yang tidak disukainya darinya. Maka suatu hari, Zaid mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya Zainab berlisan keras terhadapku dan aku ingin menceraikannya.”
Dari dua penjelasan ini, jelas bahwa ketidaksetaraan keturunan bisa menimbulkan masalah jika tidak mampu dilebur.
Ketidaksetaraan ini juga pernah menceraikan satu keluarga di zaman terbaik; shahabat Nabi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas,
“Bahwa istri Tsabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata: Ya Rasulullah, Tsabit bin Qois. Aku tidak mencela akhlak dan agamanya. Tetapi aku benci kekafiran dalam Islam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya?
Dia menjawab: ya
Rasulullah berkata (kepada Tsabit): Terimalah kebunnya dan ceraikanlah ia.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar menjelaskan kisah di atas lebih detail tentang akar permasalahan hingga keluarga inipun tidak tertahankan,
BACA JUGA: Keresahan Sahabat ketika Rasulullah Memilih Usamah bin Zaid untuk Memimpin Pasukan
“Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar berkata: telah sampai pada saya kisah bahwa dia (istri Tsabit) berkata: Ya Rasulullah, aku ini wanita cantik seperti yang kau lihat. Sementara Tsabit adalah laki-laki yang jelek.
Dalam riwayat Mu’tamir bin Sulaiman dari Fudhoil dari Abu Jarir dari Ikrimah dari Ibnu Abbas: Khulu’ pertama dalam Islam adalah yang terjadi pada istri Tsabit bin Qois.
Dia datang kepada Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah kepalaku dan kepala Tsabit tidak pernah bisa disatukan. Saat aku menyingkap kain penutup rumah, aku melihatnya datang dengan beberapa laki-laki dan ternyata dialah yang paling hitam, paling pendek dan paling jelek wajahnya.” []
Sumber: E-Book Kuliah Online Parenting Nabawiyah/Budi Ashari, Lc/2012