Ibarat pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Usaha kecil yang terus-menerus dilakukan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Pepatah itu layak untuk disematkan pada seorang kakek penarik becak, Ngadiman Yinto Seminto yang berusia 69 tahun.
Kakek yang kerap disapa dengan nama Mbah Pairo itu dalam rentang waktu 44 Tahun selalu meluangkan sedikit uangnya untuk ditabung. Uang itu berasal dari mata pencahariannya sebagai tukang becak yang telah digelutinya sejak tahun 1967.
“Uang dari narik becak saya kasihkan semua ke istri. Biar istri saya yang ngatur untuk biaya sekolah anak, untuk makan, untuk kegiatan sosial, dan untuk menabung. Istri juga yang membagi uang itu misal ada tonjokan (kenduri) kan kalau orang Jawa artinya harus nyumbang,” kata Mbah Pairo ketika ditemui di Pasar Cawas, Klaten, Rabu, 2 Agustus 2017.
Kerja keras dan jerih payahnya menarik becak berhasil menyekolahkan anaknya ke jenjang SMA. Bahkan, dua di antaranya berhasil lulus kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lebih mengharukan lagi, jerih payahnya menarik becak itu berhasil membawanya memenuhi panggilan Allah untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Mbah Pairo bersama istrinya, Laminem, di tahun 2017 ini tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 33 SOC, keduanya bakal berangkat ke Tanah Suci pada 6 Agustus mendatang.
“Sampun kersane Allah (bisa berangkat haji). Modal saya itu cuma niat untuk bisa naik haji, karena itu panggilan Allah,” ujar lelaki tua yang ramah dan murah senyum ini.
Kakek kelahiran Klaten, 9 September 1948, memulai menarik becak di Semarang. Di Kota Lumpia itu ia menarik becak selama 12 tahun. Mbah Pairo kemudian memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta, demi mencari rezeki sebagai penarik becak.
“Di Yogyakarta itu saya pernah mengalami nyowo balen (nyawa kedua). Saya ditabrak mobil di Mangkubumi saat mau mencari penumpang di Stasiun Tugu. Saya dibawa ke RS Bethesda dan sekarat selama sembilan hari di sana. Kata orang yang melihat kejadian itu jika tabrakan itu begitu parah dan seharusnya saya meninggal,” Kata Mbah Pairo mengenang kejadian yang menimpanya.
Pada tahun 2010, ia nekat mendaftarkan haji lantaran niatnya yang cukup besar sejak puluhan tahun silam untuk bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Dengan modal tabungan Rp 13.500.000, ia nekat mendaftarkan haji. Uang itu merupakan hasil tabungan dari menarik becak sejak tahun 1973 hingga tahun 2010.
Beberapa bulan lalu, Mbah Pairo dan Laminem dinyatakan bisa berangkat naik haji tahun 2017. Guna melunasi uang kekurangannya, Mbah Pairo mengambil uang tabungan yang setiap hari disetorkan di sebuah BMT di Cawas. “Katanya masih kurang, lalu saya bawa uang Rp 25 juta. Tapi setelah dicek uang Rp 25 juta kelebihan. Cuma kurang Rp 23 juta, jadinya alhamdulillah sisa Rp 2 juta bisa untuk uang saku nanti di Tanah Suci,” tutur Mbah Pairo yang punya enam cucu ini.
Mbah Pairo tidak menyangka bahwa bisa beribadah haji. Terlebih dengan kondisi ekonominya yang serba terbatas. Tak sedikit yang meragukan kemapuan ekonomi Mbah Pairo bisa menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. “Tapi, saya ya enggak marah. Malah saya bersyukur,” katanya.
Segala persiapan sudah dilakukan Mbah Pairo dan istri, termasuk manasik haji. Mengharukannya, Mbah Pairo ini berangkat manasik haji menggunakan becak. “Saya itu mulai daftar, terus ikut manasik haji, ya pakai becak ini,” Mbah Pairo mengungkapkan.
Mendekati tanggal keberangkatan haji, Mbah Pairo menyiapkan fisik. Selain itu juga bekal yang dibawa untuk santap makan di Makkah nanti. “Bawa abon, mi instan, dan teh celup. Minta doanya saja semoga dilancarkan oleh Allah, Aamiin,” Pungkasnya.[]
Sumber:BerbagiSemangat