Table of Contents
SAHABAT Islampos, sosok Buya Hamka sangat inspiratif. Ulama yang wafat pada Jumat, 24 Juli 1981 di usia 73 tahun itu telah meninggalkan banyak kenangan dan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Terutama teladan pribadinya yang pemaaf dan humanis.
Pelajaran berharga itu dapat diambil dari sejumlah cuplikan kisah kehidupan Buya Hamka yang dituturkan orang-orang terdekatnya. Berikut beberapa kisah teladan Buya Hamka tersebut:
1 Kisah teladan Buya Hamka: Santun dalam kata
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearah. Abdurrahman Wahid menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan “sangat menawan” dan “menghanyutkan”.
BACA JUGA: Ini Konsep Iman dan Keadilan yang Dipahami Buya Hamka
2 Kisah teladan Buya Hamka: Teguh memegang prinsip hidup
Penulis Malaysia Muhammad Uthman El Muhammady mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi “mengutarakan argumennya dengan gaya yang elegan”. Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan perbedaan tak berprinsip.
3 Kisah teladan Buya Hamka: Menghargai perbedaan dalam Islam
Shobahussurur dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika Abdullah Syafii hendak menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka mempersilakan azan di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan Nahdatul Ulama (NU).
Dalam perjalanan di kapal bersama Idham Cholid yang Ketua PBNU, Hamka mengimami salat Subuh dengan membaca doa qunut karena jemaah di belakangnya adalah Idham Cholid.
Begitu juga pada Ramadhan pertama setelah Masjid Al-Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk shalat Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.
4 Kisah teladan Buya Hamka: Menghindari konflik
Menurut putra ke-5 Hamka, Irfan, Hamka berusaha menghindari konflik dengan siapapun. Namun, dalam masalah aqidah, “Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran.”
5 Kisah teladan Buya Hamka: Pemaaf dan bukan pendendam
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, Irfan Hamka dalam buku Ayah… mengungkapkan bagaimana Hamka “memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya.”
Karena pandangan politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat Muhammad Yamin marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta Hamka “untuk dapat mendampinginya” dan “menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya”.
Di bawah pemerintahan Soekarno, Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan Soekarno yang lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalatnya.
Irfan mengutip penyataan Hamka:
“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30 juz.”
BACA JUGA: Wibawa Dakwah Buya Hamka
Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam Ayah… menyebut bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar Bintang Timoer dalam rubrik “Lentera” yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir.
Namun, ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan etnis Tionghoa berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon suaminya itu untuk belajar Islam kepada Hamka.
Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan dua kalimat syahadat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama ini ia serang melalui tulisan-tulisannya.
“Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik.”
Taufiq Ismail dalam pengantar di buku Ayah… menilai, secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.
Demikian teladan dari sosok Buya Hamka, ulama besar tanah air yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. []
SUMBER: WIKIPEDIA