ADA kisah teladan sahabat terkait itsar yang dapat kita renungkan bersama. Itsar (tidak mementingkan diri sendiri) adalah salah satu kualitas mulia yang ditekankan dalam Islam. Orang yang tidak mementingkan diri sendiri menempatkan perhatian pada orang lain di atas perhatian pada dirinya sendiri. Orang yang tidak mementingkan diri sendiri murah hati dan bebas memberikan bantuan dan dukungan kepada orang lain.
Kebalikan dari tidak mementingkan diri sendiri adalah keegoisan yang melibatkan kepedulian terhadap kesejahteraan diri sendiri tanpa memperhatikan kesejahteraan orang lain. Orang yang egois adalah pelit—dengan kekayaan dan dirinya sendiri—dan memandang bahwa memberikan dukungan kepada orang lain sebagai beban.
Nabi ﷺ mengingatkan orang-orang beriman tentang kualitas mulia tidak mementingkan diri sendiri ketika dia berkata:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)
BACA JUGA: Kisah Sahabat yang Melihat Ahli Surga dan Neraka karena Memperbanyak Puasa
Para sahabat yang mulia pun menunjukkan sikap tidak mementingkan diri sendiri. Ada banyak teladan yang mereka tampilkan terkait menempatkan orang lain di atas diri mereka sendiri.
Berikut 2 kisah teladan sahabat terkait dengan itsar:
1 Kisah teladan sahabat: Anshar dan Muhajirin
Salah satu contoh terbaik dari sikap tidak mementingkan diri sendiri tercermin dari perlakuan Anshar (Pembantu) terhadap Muhajirin (migran). Setelah hijrah ke Madinah, banyak diantara kaum Muhajirin yang tidak memiliki apa-apa. Mereka telah meninggalkan semua kekayaan mereka di Mekah, dan datang ke Madinah dalam keadaan miskin.
Untuk meringankan penderitaan mereka, Nabi ﷺ memasangkan setiap muhajirin dengan sebuah keluarga Anshar di Madinah. Ikatan antara para Muhajirin dan Anshar ini begitu erat sehingga—untuk sementara waktu—mereka bahkan diizinkan untuk mewarisi satu sama lain.
Kaum Ansar merasakan kewajiban yang begitu besar terhadap para migran sehingga mereka pernah pergi menemui Nabi ﷺ dan menawarkan untuk memberi mereka setengah dari kebun kurma mereka. Ketika Nabi ﷺ menolak untuk menerima tawaran ini, Anshar menawarkan perjanjian kerja sama yang memungkinkan kaum Muhajirin untuk bekerja di kebun kurma dan berbagi keuntungan.
BACA JUGA: Melalui Kisah, Rasul Ajarkan Para Sahabat
2 Kisah teladan sahabat: Memuliakan tamu
Dalam contoh lain, seorang pria pernah datang kepada Nabi ﷺ mencari makanan. Nabi meminta bantuan dari salah satu istrinya, yang menjawab bahwa dia tidak punya apa-apa selain air. Kemudian dia mengirim pesan yang sama ke istri lain dan menerima balasan yang sama.
Kemudian Nabi ﷺ berkata, “ Siapa yang akan menjamu pria ini sebagai tamu malam ini?”
Salah seorang Anshar berkata, “Ya Rasulullah, aku mau.”
Jadi dia meminta istrinya untuk menyiapkan makanan untuk pria itu, tetapi dia menjawab bahwa mereka hanya punya cukup makanan untuk memberi makan anak-anak. Berniat menerima pahala dari Allah, laki-laki itu menyuruh istrinya untuk menyibukkan anak-anak dan menidurkan mereka ketika mereka meminta makanan.
Ketika tamu masuk, tuan rumah memadamkan lampu dan memberi kesan bahwa mereka sedang makan. Namun kenyataannya, mereka melewatkan malam dengan lapar agar tamu mereka bisa makan.
Keesokan paginya Nabi melihat pria Anshar tersebut dan memberitahunya bahwa Allah senang dengan tindakannya yang tidak mementingkan diri sendiri. (HR Bukhori dan Muslim)
Berkenaan dengan perbuatan baik seperti itu, Allah berfirman tentang kaum Anshar berikut ini:
“Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung..” (QS Al-Hashr: 9)
Dan Allah juga berfirman,
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.” (QS Al-Insan: 8-9)
BACA JUGA: Kisah Hijrah Sahabat Nabi, Meninggalkan Segalanya saat Pindah ke Madinah
Membaca kisah-kisah indah ini seharusnya membuat kita masing-masing mengajukan pertanyaan sederhana:
Seberapa egois saya? Seberapa bersedia saya untuk datang membantu orang lain? Apakah saya rela mengorbankan kekayaan materi saya dan meninggalkan kenyamanan demi orang lain?
Dalam skala 1 sampai 10—dengan 10 benar-benar tidak mementingkan diri sendiri dan 1 benar-benar egois—di mana peringkat saya?
Pada intinya, tindakan tidak mementingkan diri sendiri tidak hanya bermanfaat bagi pemberi dan penerima. Mereka memiliki dampak mendalam pada masyarakat pada umumnya. Tindakan tanpa pamrih seperti itu membantu membangun ikatan kepercayaan dan mengarah pada timbal balik kebaikan.
Itu akan membantu menghancurkan stereotip dan meruntuhkan hambatan. Tidak mementingkan diri sendiri mengarah ke dunia yang lebih baik untuk semua. []
SUMBER: ABOUT ISLAM