ISLAM telah mengatur segala aspek kehidupan ini dengan begitu baik. Termasuk dalam hal toleransi. Sejak berabad-abad yang lalu, Rasulullah telah mengajari kita apa arti dari sebuah toleransi tanpa perlu menggadaikan akidah kita. Dari sekian banyak kisah toleransi yang dilakukan Rasulullah, toleransi dalam perjanjian Hudaibiyah inilah yang menjadi salah satu pintu terbuka lebarnya persebaran Islam di Arab Saudi.
Dikisahkan bahwa pada saat itu Nabi bermaksud umrah di bulan Ramadhan bersama sekitar seribu empat ratus pengikutnya, mereka dihalangi oleh kaum musyrikin. Nabi menyampaikan kepada mereka bahwa mereka datang bukan untuk berperang namun untuk melaksanakan umrah dan tawaf di Kabah.
Nabi kemudian mengutus Usman untuk mengadakan pendekatan dengan suku Quraisy. Dan Usman dianggap orang yang paling tepat untuk berbicara dengan mereka. Ketika Usman telah kembali dalam waktu yang lama, di saat-saat kaum muslimin menunggu kedatangannya dengan berbagai tanda tanya, dengan tangan hampa Usman datang kepada Rasulullah dan menyatakan bahwa Quraisy tetap berkeras hati menolak mereka. Disinilah kemudian, toleransi yang sangat mengesankan dari pihak Nabi terlihat.
Mereka mengutus beberapa orang untuk mengadakan perjanjian di tempat itu untuk melarang Nabi bersama kaum muslimin umrah tahun itu juga. Meskipun nabi waktu mempunyai kekuatan pasukan yang dapat menghancurkan negeri mereka namun beliau menerima syarat tersebut.
Ketika merumuskan naskah perjanjian itu Nabi menerima baik keberatan-keberatan yang diajukan oleh utusan orang-orang Quraisy, Suhail bin Amr. Sebaliknya Suhail tetap tidak pernah mau bergeser dari posisinya, sehingga membuat banyak sahabat Nabi jengkel dan menahan marah, termasuk Umar bin Khattab. Sebagai awal perjanjian Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan “Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Suhail memotongnya dengan mengatakan bahwa ia tidak mengenal sifat-sifat “Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Suhail meminta supaya diganti menjadi “Dengan namaMu ya Tuhan”.
Nabi pun memerintahkan kepada Ali untuk mengikuti keinginan Suhail. Ketika Nabi meminta Ali untuk menulis: “Berikut ini adalah naskah perjanjian yang dicapai oleh Muhammad Utusan Allah dan Suhail bin Amr”. Suhail juga memotongnya dengan mengatakan bahwa kalau ia terima atau percaya bahwa Beliau adalah utusan Allah ia tidak akan memusuhinya, dan dia minta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah” diganti menjadi dengan hanya “Muhammad anak Abdullah”.
Hal ini tentu membuat marah para sahabat. Tetapi nabi sekali lagi meminta kepada Ali untuk menulis sesuai dengan yang dikehendaki oleh Suhail.
Kemudian Suhail memberikan syarat lagi bahwa barang siapa yang keluar dari Mekah dan masuk Islam serta menggabungkan diri kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Mekah.Sebaliknya, barangsiapa yang memisahkan diri dari Nabi dan kembali ke Mekah serta murtad dari agama Islam, mereka boleh menerimanya kembali, dan ia tidak diwajibkan bagi mereka untuk mengembalikannya ke Madinah. Syarat ini pun diterima oleh Nabi.
Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah memberikan hikmah besar kepada kaum muslimin. Terbukti dengan banyaknya orang-orang yang lari ke Madinah dan masuk Islam. Perjanjian yang telah disepakati bersama itu tidak pernah dilanggar. Tetapi justru kaum kafir Quraisylah yang selalu melanggar perjanjian itu.
Sikap politik yang dilakukan oleh Rasulullah itu mengundang berbagai tanda tanya, terutama di hati Umar yang agresif dan bertemperamen keras. Bahkan karena tidak mengerti latar belakang alur pemikiran Rasulullah, Umar pun sempat meragukan kerasulan Muhammad SAW. “Ya Rasulullah bukankah kita benar? Dan mereka dalam kebatilan?”
Rasulullah mejawab, “Ya.”
Kemudian Umar berkata, “Bukankah kematian kita dijamin surga dan kematian mereka dijamin Neraka?”
Kembali Rasulullah mejawab, “Ya.”
“Lalu, mengapa kita harus tunduk kepada mereka, bukankah kita berhukum dengan hukum Allah untuk kita dan mereka?” Umar bertanya kembali.
Rasulullah akhirnya berkata, “Hai, anak Khattab! Sesungguhnya aku Rasulullah dan Allah tidak akan meninggalkanku selamanya.”
Mendengar pernyataan itu ia terdiam, dan dipendamnya keraguan itu karena cintanya kepada Rasulullah.
Kemudian ia berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar benarkah ia seorang Rasul.”
Abu bakar menjawab dengan tegas “Ya, dia adalah seorang Rasul utusan Allah dan dia seorang Nabi, aku tidak ragu sedikitpun.”
“Ya Abu Bakar bukankah kita benar?” Dan mereka dalam kebatilan?”
Abu Bakar menjawab, “Ya.”
Kemudian Umar berkata, “Lalu mengapa kita harus tunduk kepada mereka, bukankah kita berhukum dengan hukum Allah untuk kita dan mereka?”
Abu Bakar menenangkan Umar, “Hai Umar! Sesungguhnya Allah menguji RasulNya dan memberitahukan kepadanya bahwa kemenangan Allah sangat dekat.”
Toleransi Rasulullah terhadap kaum Quraisy secara logika telah membuat kekalahan besar dalam diplomasi. Apa yang telah ditulis dalam perjanjian Hudaibiyah nyata-nyata memihak Quraisy Makkah dan mengenyampingkan hak-hak kaum muslimin. Namun kenyataannya, justru perjanjian Hudaibiyah menjadi perbincangan luas di seantero Arab. Atas kelemahlembutan Rasullah dan toleransi yang tinggi terhadap kaum Quraisy, justru telah mengangkat kehormatan kaum muslimin sementara kaum Quraisy semakin dicibir oleh berbagai kabilah. []
Sumber: Informasiana