SEBELUM pulang kantor, seorang suami menelpon istrinya, “Sayang, alhamdulillah, bonus akhir tahun dari perusahaan sudah turun, Rp. 150 juta.”
Di ujung telpon, sang istri tentu saja mengungkapkan rasa syukurnya, “Alhamdulillah, semoga barokah ya, Mas.”
Sejak beberapa bulan yang lalu mereka sudah merencanakan membeli mobil sederhana untuk keluarga kecilnya. Dan uang yang turun itu, mereka rasa cukup pas sesuai budget.
Namun dalam perjalanan pulang, sang suami ditelefon oleh ibunya di kampong. “Nak, kamu ada tabungan? Tadi ada orang datang ke rumah. Ternyata almarhum ayahmu punya hutang ke dia cukup besar, Rp. 50 juta.”
Tanpa pikir panjang, sang suami bilang ke ibunya, “Iya, Bu, insyaAllah ada.”
Dalam perjalanan pulang ia pun sambil berpikir, “Nggak apa-apalah, masih cukup untuk beli mobil yang 100 jutaan. Mungkin ini lebih baik.”
Ia pun melanjutkan perjalanan. Belum tiba di rumah, HP-nya kembali berdering. Seorang sahabat karibnya semasa SMA tiba-tiba menghubunginya sambil menangis. Sahabatnya itu sambil terbata mengabarkan bahwa anaknya harus segera operasi minggu ini. Banyak biaya yang tidak bisa dikover oleh asuransi kesehatan dari pemerintah. Tagihan dari rumah sakit Rp. 80 juta.
Ia pun berpikir sejenak. Uang bonusnya tinggal 100 juta. Jika ini diberikan kepada sahabatnya, maka tahun ini ia gagal membeli mobil impiannya. Tapi nuraninya mengetuk, “Berikan padanya. Mungkin kamu memang jalan Allah untuk menolong sahabatmu itu. Mungkin ini memang rezekinya yang datang melalui perantara dirimu.”
Ia pun menuruti panggilan nuraninya.
Setibanya di rumah, ia menemui istrinya dengan wajah yang lesu.
Sang istri bertanya, “Kenapa, Mas? Ada masalah? Nggak seperti biasanya pulang kantor murung gini?”
Sang suami mengambil napas panjang, “Tadi ibu di kampung telefon, butuh 50 juta untuk bayar utang almarhum bapak. Nggak lama, sahabat Mas juga telefon, butuh 80 juta untuk operasi anaknya. Uang kita tinggal 20 juta. Maaf ya, tahun ini kita nggak jadi beli mobil dulu.”
Sang istri pun tersenyum, “Aduh, mas, kirain ada masalah apaan. Mas, uang kita yang sebenarnya bukan yang 20 juta itu, tapi yang 130 juta. Uang yang kita infakkan kepada orang tua kita, kepada sahabat kita, itulah harta kita yang sesungguhnya. Yang akan kita bawa menghadap Allah, yang tidak mungkin bisa hilang jika kita ikhlas. Sedangkan yang 20 juta di rekening itu, masih belum jelas, benaran harta kita atau akan menjadi milik orang lain.”
Sang istri pun memegang tangan suaminya, “Mas, insyaAllah ini yang terbaik. Bisa jadi jika kita beli mobil saat ini, justru menjadi keburukan bagi kita. Bisa jadi musibah besar justru datang ketika mobil itu hadir saat ini. Maka mari baik sangka kepada Allah, karena kita hanya tahu yang kita inginkan, sementara Allah-lah yang lebih tahu apa yang kita butuhkan.” []
Artikel ini beredar viral di media sosial dan blog. Kami kesulitan menyertakan sumber pertama.