Oleh : Verawati, Mantan Ketua Student English Activity (SEA – UMY)
Firman Allah SWT, “WANITA yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (Qs. An Nur:26)
Itu salah satu ayat yang pernah saya baca, dan saya yakini kebenarannya. Dan keyakinan itu juga yang membuat saya ketar-ketir ketika masa pencarian jodoh tiba, kira-kira sepuluh tahun silam. Pasalnya, saya merasa masih jauh dari kriteria “wanita baik” dalam ayat diatas. Shalat secukupnya, mengaji ala kadarnya, puasa senin kamis? Wah, jangan ditanya. (Eh, jangan ditiru ya). Jadi, saya lumayan khawatir, jika belum sempet memperbaiki diri, terus datang takdirnya ketemu jodoh. Pasti dapatnya yang kurang lebih sama. Padahal saya mengharapkan akan dapat suami yang lebih oke segalanya, yang bisa jadi imam keluarga, bertanggung jawab, gemar menabung, bisa diajak kondangan dll.
Dan tibalah masa itu,
Di luar dugaan saya, alhamdulillah Allah kasih saya suami yang baiknya masya Allah, beyond my expectation. Suami yang membuat saya berniat untuk mengabdikan diri dengan sepenuh hati. Suami yang membuat saya bersyukur setiap saat. Suami yang dengan sigap bangun dari tidur nyenyaknya di tengah malam, karena istrinya pengen nasi goreng, padahal tidak sedang ngidam, dan masa honeymoon sudah lewat jauh.
Awalnya saya heran dan terus berpikir. Kok bisa ya? Kok saya dapat jodoh yang oke banget, padahal sayanya biasa saja. Sampai pada suatu hari, tiba-tiba saya teringat pada sebuah peristiwa di masa silam, begini ceritanya:
Pas jaman kuliah dulu, naik bis jurusan Lampung – Yogyakarta merupakan sebuah rutinitas yang kulakoni tiap lebaran dan liburan. Sampe sopir dan keneknya pada hapal. Pada suatu perjalanan ke Yogyakarta sehabis liburan, saya duduk di sebelah suami istri dengan dua anak balita. Yang satu masih bayi, umurnya sekitar 6 bulan, satu lagi kira-kira dua tahunan lah. Ditengah perjalanan, tiba-tiba sang bayi menangis, rupanya dia sakit perut dan terkena diare. Karena rada blepotan, (maaf ya.). Sang ibu terpaksa harus membawa si bayi itu ke toilet yang ada di dalam bis bagian belakang. Masalahnya, nggak mudah untuk membersihkan bayi di dalam toilet bis yang goyang-goyang mulu, (yang pernah naik bis antar propinsi pasti bisa membayangkan), apalagi bayinya lagi rewel. Harus ada seseorang yang bantu megangin sang bayi, sementara si ibu membilas. Sang ayah berniat membantu, tapi si kakak nangis histeris nggak mau ditinggal. Penumpang lain mulai terlihat jutek dan menggerutu karena bis jadi berisik dan bau. Kebayang kan betapa bingungnya sepasang suami istri itu.
Karena kasian, saya menawarkan diri membantu ibu itu, bayinya gak mau saya pegang, jadi saya yang bagian bilas-bilas. Alhamdulilah, kekisruhan tersebut berakhir dengan happy ending.
Sepasang suami istri itu ngerasa sangat terbantu dan berterimakasih (padahal mah, cuma segitu ajah yah?), dan disela-sela obrolan, mereka berkata “Mbak belum nikah kan ya? kami doakan, nanti mbak dapat jodoh yang terbaik,” mereka tulus banget ngomongnya, saya sampe terharu.
Setiap orang tua pasti selalu mendoakan jodoh terbaik untuk anak-anaknya, tapi setelah ku fikir-fikir, kalo setiap doa orang tua terkabul dengan mudahnya, pasti nggak bakal ada cerita KDRT dan perceraian di dunia ini.
Karena itu, tanpa menamfikan peran orang tua yang pasti juga selalu berdoa untuk jodoh terbaik saya, saya percaya bahwa doa sepasang suami istri tersebut telah menjadi faktor tambahan, kenapa Allah memberi saya jodoh yang terbaik.
Suamiku, dengan segala kebaikan yang menyertainya, menjadi salah satu support terbaik yang membuat saya terus bersemangat untuk menebar manfaat bagi sesama.
Walaupun, semua yang kulakukan ini lillahita’ala, tapi tetap saya bahagia tiap mendengar untaian do’a yang terlantun dari setiap mulut yang tertuju pada saya. Karena kita tidak pernah tau, dari mulut siapa doa terkabul. []