YERUSALEM—Parlemen Israel, Knesset, Selasa (1/5/2018), memberikan persetujuan awal untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menyatakan Israel adalah “negara kebangsaan orang Yahudi.”
RUU “negara Yahudi” itu diajukan oleh partai sayap kanan Likud dan mendapat dukungan 64 banding 50.
RUU itu masih harus melalui dua tahap sebelum dijadikan undang-undang pasti. Di dalamnya berisi proposal penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan bahasa resmi Ibrani.
Dokumen itu juga mengatakan sistem yudisial lebih memberi preferensi kepada identitas Yahudi Israel dan bukan terhadap sistem demokrasi ketika keduanya bertentangan.
Anggota parlemen Knesset Avi Dichter, salah satu penulis RUU itu, mengatakan proposal itu akan memberikan cap “tanah air bangsa Yahudi” kepada Israel.
Namun proposal itu juga menerima kecaman dari anggota Knesset berlatar belakang Arab, yang mengatakan RUU itu “rasis.”
“RUU itu mengatakan terdapat dua jenis warga: orang Yahudi yang mendapatkan semua hak dan kelompok lain yang dibolehkan menetap namun tidak memiliki hak apapun,” kata Ahmad Tibi, anggota parlemen.
Menurut Tibi, RUU tersebut rasis.
“Itu termasuk sikap rasis,” tambah dia.
Seorang anggota Knesset lainnya, Haneen Zoabi, mengatakan RUU itu membuktikan Knesset menyadari tidak ada kemungkinan untuk memiliki negara Yahudi dengan sistem demokrasi.
“Negara ini harus memilih, dan selama 70 tahun terakhir mereka telah memilih menjadi Yahudi alih-alih demokrasi,” kata Zoabi melalui sebuah pernyataan.
Lebih lanjut, Zoabi menjelaskan bahwa hal itu tidak memungkinkan untuk dilakukan.
“Israel tidak bisa menjadi corong bagi semua Yahudi di dunia, dan tidak bisa menjadi corong bagi semua warganya. Israel hanya mejadi corong Zionisme, sikap penjajah kolonial, dan nilai-nilai rasis,” tegas Zoabi.
Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan RUU itu mendukung “rezim rasis” dan bertentangan dengan “prinsip kemanusiaan dan hukum internasional”.
Melalui sebuah pernyataan, kementerian itu mengatakan proposal tersebut juga mengucilkan keturunan Palestina dan Arab yang menetap di Israel.
Menurut mereka, RUU itu akan memiliki pengaruh negatif terhadap Palestina, dan tidak mendefinisikan perbatasan negara Israel, yang menyiratkan ambisi Israel untuk terus memperluas wilayahnya. []
SUMBER: ANADOULU