HARI pertama puasa kemarin, setelah shalat shubuh, saya bergegas ke pasar. Ternyata, hari pertama puasa pasar induk terbesar di kotaku yang biasanya Shubuh padat malah agak lengang.
Sebenernya semua udah tersedia di kulkas karena sehari sebelumnya udah diajakin belanja sama suami. Cuma kepo akut pengen tau aja suasana hari pertama puasa tahun ini di pasar.
Yaa emang bener kata temen-temen jamaah fesbukiyah dan para IMAHMUCA alias ikatan mamah muda cantik, kalau harga-harga meloncat naik.
Setelah berkeliling, mata tiba-tiba tertuju pada ibu tua yang menggelar beberapa buah belewah di depannya. Terenyuh lihat ibu tua itu, langsung kudekati.
“Bik… belewahnya berapaan?” tanya saya.
“3000, Neng…” jawabnya.
“Kok murah bik, yang lain jual 5000?” kata saya lagi.
“Ini belewahnya kurang bagus, udah pada belah, tapi rasanya manis, ada bagian yang bonyok sedikit, bibik gak kuat ngangkat karungnya jadi diseret,” lanjut ibu tua itu.
Saya perhatikan belewahnya, sebenarnya gak terlalu tampak, belahpun cuma sedikit, dan bukan bonyok, lecet sedikit saja. Kalau gak saksama apalagi di suasana remang cahaya Shubuh itu, ya gak kelihatan. Tapi kejujuran ibu itu dalam berniaga membuatku memperhatikan dengan saksama dagangannya. Lalu saya jawab, “Gak apa-apa, Bik, masih bagus, gak terlalu kelihatan juga…”
Ibu itu tertawa sambil memperbaiki selendang yang menutupi kepalanya. “Iya kalau sama mata kita kalau gak dipelototin gak kelihatan, tapi Bibik tau barang yang Bibik jual, Allah juga tau, nanti kalau gak terus terang malah gak berkah. Untungnya sedikit, cuma pengen kenyang, tapi sial dunia akhirat kalau gak berkah kan rugi besar Bibi,” jawabnya.
Mending terus terang aja, ada yang mau beli syukur, gak ada ya berarti belum rejeki. Pasti ada rejekilah dari Allah.
Saya terdiam sesaat, kupandang rambut putihnya yang ditutup selendang alakadarnya. Tubuhnya renta dengan keriput kulitnya dan pakaian dan kain yang jauh dari standar sederhana, namun terlihat begitu mewah setelah memahami kemewahan akhlaknya.
Banyak para pedagang sukses, untung berlimpah, harta berkecukupan tapi tak memiliki akhlak yang mewah, tertipu orientasi dunia mengeruk untung mengabaikan adab dan akhlak.
Saya malu dan bangga bertemu dan bermuamalah dengan ibu tua itu. Satu lagi pelajaran berharga dari luar sana. Gak penting seberapa banyak materi yang kita dapat, keuntungan sesungguhnya bukanlah sekadar materi. Keberkahan lebih utama dari senilai angka. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial. Terima kasih.