PADA era disrupsi ini kita menghadapi revolusi industri keempat yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0. Ada perdebatan menarik anatara Elon Musk dan Mark Zuckerberg tentang apakah kecepatan perubahan teknologi di era disrupsi ini harus diperlambat atau dibiarkan saja berkembang?
Elon Musk mengatakan bahwa teknologi jangan terlalu cepat berkembang, karena akan menyebabkan banyak orang menganggur. Pendapat berbeda datang dari Mark Zuckerberg yang mendukung bahwa biarkan saja teknologi berkembang, karena tujuan utamanya tetap untuk memudahkan manusia, manakah pendapat yang benar?
BACA JUGA:Â Dibalik FinTech Syariah
Tentu saja kembali kepada kebutuhan kita masing-masing terhadap teknologi, teknologi adalah barang yang netral, tergantung yang menggunakannya apakah akan jadi memudahkan atau malah menjadi ancaman.
Satu-satunya cara untuk bisa berkompetisi dengan mesin di era Revolusi Industri 4.0 ini adalah dengan mengganti sistem pendidikan kita, karena pada Tahun 2030 robot akan dapat menggantikan pekerjaan 800 juta orang. Jack Ma (CEO Alibaba Group) dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018 mengatakan sistem pendidikan kita di masa kini sama dengan yang diajarkan 200 tahun yang lalu, yaitu berdasarkan transfer ilmu saja.
Kita harus melakukan suatu sistem pendidikan yang lebih unik, sesuatu yang mesin tidak bisa menyaingi kemampuan kita.
Perkembangan Revolusi Industri 4.0 dalam teknologi berdampak pada kemajuan di beberapa bidang di Indonesia seperti dalam bidang transportasi, pariwisata, dan e-commerce, dan ada satu bidang yang kini viral diberi sentuhan teknologi, yakni bidang finansial atau yang kerap disebut financial technology (fintech).
Fintech secara sederhana merupakan sebuah inovasi di dalam bidang jasa keuangan. Menurut Bank Indonesia, fintech dibagi ke dalam empat kategori besar, yakni (1) payment, clearing, and settlement, (2) e-aggregator, (3) risk management and investment, (4) peer to peer lending.
Dengan masifnya penggunaan internet di smartphone, orang-orang pun mulai meninggalkan transaksi konvesional. Pinjam uang hingga menyicil barang, semuanya dilakukan melalui sentuhan jemari pada layar gadget. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Fintech menjadi pelengkap atau pesaing Bank dalam melakukan inklusi keuangan? Disinilah sisi menarik yang untuk kita bahas.
Pada awal 2016 adalah mulai merebaknya industri Fintech khususnya peer-to-peer (P2P) Lending mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia, lalu disinilah timbul berbagai asumsi seperti apakah Fintech akan dianggap memusnahkan keberadaan institusi keuangan konvensional seperti bank.
Asumsi seperti ini bisa saja timbul seperti kita bisa menganalogikan pada kasus ojek kovensional yang terdisrupsi oleh layanan ojek online, maka bukan hal yang tidak mungkin juga terjadi masalah regulasi dan kepentingan pada institusi keuangan konvensional jika pemerintah tidak peka terhadap hal ini. Target pasar antara Bank dan Fintech juga kita harus perhatikan agar tidak saling mengambil objek yang sama dari kedua lembaga tersebut.
Fintech pada umumnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu tapi kita tidak menyadarinya. Contoh nyatanya adalah kartu kredit, mesin ATM, atau digital banking, namun salah satu bentuk Fintech 3.0 yang populer di Indonesia adalah P2P Lending. P2P Lending atau Peer to Peer Lending adalah sebuah platform yang berfungsi sebagai marketplace untuk mempertemukan orang yang ingin menginvestasikan uangnya (pemberi pinjaman) dengan orang yang membutuhkan dana (peminjam).
Platform Fintech P2P Lending ini mempertemukan pemberi pinjaman dan peminjam secara online. Pengusaha kecil pemilik UMKM lokal di daerah inilah yang harus disentuh bantuan dari P2P Lending, agar dapat memperoleh alternatif pendanaan tanpa agunan dengan proses online yang mudah dan cepat, sementera pemberi pinjaman pun memperoleh peluang berinvestasi baru dengan return yang lumayan.
Sekilas memang mirip model bisnis pinjam meminjam dari Fintech P2P Lending dengan Bank, lalu apa yang membedakannya? Disinilah peran platform Fintech P2P Lending ini justru ada untuk melengkapi peran bank dalam inklusi keuangan, bukan menyaingi atau bahkan mematikan bank.
Menurut data OJK, kebutuhan kredit nasional masih sangat besar sejumlah Rp1.700 triliun per tahun bagi UMKM Indonesia, di sisi lain lembaga keuangan yang ada hanya dapat memenuhi Rp700 triliun dari kebutuhan tersebut, sehingga ada kekurangan pendanaan sebesar Rp1.000 triliun bagi UMKM Indonesia setiap tahun. Di sinilah peran P2P Lending untuk menyentuh masyarakat yang belum tersentuh bank atau bankable, padahal masyarakat tersebut termasuk UMKM yang memiliki kapasitas untuk berkembang dan butuh pendanaan.
UMKM yang belum terverifikasi untuk bisa mendapatkan pinjaman dari bank dijembatani oleh P2P Lending sehingga pada suatu saat nanti UMKM tersebut menjadi layak mendapat pinjaman bank atau bankworthy, disinilah terdapat perbedaan yang jelas antara segmen pasar P2P Lending dan bank, yaitu P2P Lending fokus pada UMKM yang sudah layak dapat pinjaman tapi belum layak dapat kredit bank atau dinamakan creditworthy, agar bisa menjadi UMKM yang terverifikasi layak dapat pinjaman dari bank yang disebut juga bankworthy sebagai segmen pasar dari Bank.
Struktur produk P2P Lending menjamah yang belum bankable, maka lebih beresiko dibanding Bank, pendanaannya juga tidak pakai agunan, maka suku bunga yang ditawarkan pasti lebih tinggi juga dari Bank. P2P Lending hanya dapat memberikan maksimal Rp2 Miliar saja per pinjaman berdasarkan regulasi dari OJK, secara logika ini masuk akal karena untuk segmen pinjaman dalam jumlah besar dan korporasi itu bagian dari bank.
Sementara yang dibutuhkan UMKM adalah pendanaan dalam jumlah kecil, disinilah terlihat kembali bahwa Bank dan P2P Lending tidak berebut kue dalam segmen pasar. Pada akhirnya dapat kita simpulkan Fintech bukanlah ancaman bagi bank, bahkan sejak dahulu sudah ada layanan Fintech 2.0 seperti mesin ATM dan digital banking, bukanlah hal mustahil bila bank pun bisa berkolaborasi dengan layanan Fintech 3.0.
Lalu bagaimana peluang fintech kedepannya? Masa depan fintech akan menjadi sangat cerah dengan syarat dua hal, yang pertama adalah fintech harus terus berinovasi dan berkolaborasi dengan lembaga keuangan lainnya, karena industri apapun memiliki tantangan yang sama. Yaitu mereka akan punah apabila tidak peka terhadap perkembangan zaman di era disrupsi ini, tidak ada yang pernah menyangka sebelumnya raja telepon genggam dunia seperti Nokia yang sangat populer menjadi ditinggalkan penggemarnya. Bahkan Blackberry yang baru belakangan ini ditutup karena tidak bisa peka terhadap kebutuhan pasar pengiriman pesan instan di masyarakat.
Hal yang harus diperhatikan selanjutnya dalam perkembangan teknologi seperti fintech adalah aspek moral. Karena jika aspek moral tidak diperhatikan bisa jadi Indonesia akan mengalami seperti kejadian Great Depression di Amerika yang ditandai dengan runtuhnya saham di Wall Street pada tahun 1929 yang dikarenakan banyaknya spekulasi serta ketidaksesuaian sektor keuangan dan sektor riil yang menyebabkan hilangnya kepercayaan dari masyarakat.
Agar terhindar dari gelembung ekonomi (economic bubble) yang ditafsirkan sebagai fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang jauh di atas nilai fundamentalnya, maka kegiatan fintech harus berlandaskan dengan prinsip dan nilai syariah.
BACA JUGA:Â Shakira Grafika Terima Penghargaan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) 2018
Secara umum kemudahan yang dimiliki fintech konvensional dan syariah memiliki persamaan namun value proposition utama dari fintech syariah adalah adanya jaminan kegiatan usaha fintech syariah berlandaskan nilai dan prinsip syariah yang diatur oleh fatwa MUI seperti terhindar dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, haram, berasaskan nilai keadilan dan keseimbangan, mengunakan akad yang selaras dengan karakteristik layanan pembiayaan, antara lain akad al-bai’, ijarah, mudharabah, musyarakah, wakalah bi al ujrah, dan qardh.
Seperti yang dikatakan Kiai Cholil Nafis selaku Ketua Komisi Dakwah MUI mengatakan bahwa bidang spiritual harus menjadi landasan perkembangan suatu bangsa, kemajuan teknologi dan kemajuan pembangunan intelektual harus diiringi oleh pembangunan rohani sumber daya manusianya.
Semoga perkembangan fintech di Indonesia bisa terus berkembang agar Kolaborasi yang dilakukan antara Bank dan Fintech akan memperkuat kedua pihak dan memperluas inklusi keuangan, serta berdampak pada pertumbuhan ekonomi makro yang mendorong Indonesia untuk keluar dari permasalahan jebakan ekonomi negara berpendapatan menegah yang disebut jebakan middle income trap. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.
Â