Oleh: Yusuf Maulana
Penulis, tinggal di Yogyakarta
Persoalan bangkitnya komunisme mungkin saja hanya bikin debat kusir di antara pembenci dan pembela wacana ini. Orang boleh setuju atau tidak terhadap kecemasan bangkitnya anasir komunis di negeri ini.
Pengalaman yang sudah berlalu boleh saja jadi pertimbangan matang, boleh juga dianggap masa silam yang tidak berkaitan dengan masa sekarang. Hanya, mengabaikan kenyataan bahwa situasi nasional di era pemerintahan sekarang terbilang kondusif untuk hadirnya komunisme, tidaklah berlebihan.
Orang boleh saja mencibir dan menganggap berlebihan kepada para penyeru antikomunisme. Mengganggap komunisme sebagai setan abadi yang susah dienyahkan, sah-sah saja disinisi. Namun mengolok pembenci komunisme sebagai “penjual” isu berkedok agama, tidaklah tepat. Mungkin ada yang gemar berkedok membawa-bawa agama, tapi apa iya mereka yang sekelas habib ataupun ulama pengecam partai komunis di sini betul-betul terbukti sebagai kelompok serupa, yakni “penjual” kebencian belaka? Apa iya mereka ini terbukti berkedok?
Ada teman peneliti di UGM yang mempersoalkan bila hadirnya komunisme dipandang sebagai sebuah pertentangan ideologi. Menurutnya, ada soal yang lebih esensial di balik pertarungan ideologi, yakni pertarungan modal di antara kekuatan besar. Ini berlaku dulu dan kini.
Tesis semacam itu tidaklah keliru bahkan bisa jadi bahan analisis berpikir kalangan islamis pembenci komunis. Modal atau kekuasaan pasar di negeri ini memang menggiurkan para pengusung ideologi besar. Mengabaikan ideologi dan hanya fokus pada ekonomi, jelaslah bias. Definisi dan makna ideologi tereduksi hanya sebatas kamuflase. Padahal, ideologi semacam bensin pemanas fenomena kemaruknya manusia. Selain itu, melihat secara makro soal perebutan modal di antara kekuasaan negeri besar juga cenderung mengabaikan fakta di lapangan. Soal penghinaan hingga pembantaian kaum agamawan oleh anasir komunis akan alami lompatan logika manakala dihadapakan dengan soal perebutan modal belaka. Karena itulah, senyampang ambisi modal ingin memang, beragam cara ditempuh untuk memenangkannya, salah satunya dengan ideologi.
Membicarakan bangkitnya komunisme memang rentang distigma sebagai “korban” Orde Baru. Kita yang berujar perlunya mewaspadai anasir komunis, serta-merta dituduh ketinggalan zaman. Cara berpikir kita dianggap terkontaminasi Orba. Dus, jadilah kita belum berwatak reformasi sehingga harus direvolusi mentalnya.
Soal pendukung Orba mestinya harus dipisahkan dengan kalangan kritis pada kebangkitan komunis. Melabeli antikomunis sebagai bagian Orba hanya praktik berpikir sempit dan tidak mau melihat persoalan dengan jernih. Apakah untuk antikomunis harus lebih dulu menjadi pendukung Orba? Kalaulah ada musuh yang sama apakah berhak disebut pihak Orba dan Islam dalam hal ini selalu beriringan?
Selepas Orba memusuhi komunis, jangan lupa siapa bidikan berikutnya: para islamis. Lantas bila hari ini kalangan yang peka dan reaktif soal bangkitnya komunis adalah dari kalangan islamis, patutkah disalahkan dan dituding “korban” penjajahan berpikir Orba? Mereka yang menuding lupa kenyataan sejarah bahwa yang banyak dibantai oleh pengikut komunis adalah kalangan ulama dan santri. Mereka direduksi sebagai “setan desa” penyokong kapitalis lokal, hingga harus dilenyapkan.
Ada banyak bukti dan pengalaman pahit yang dirasakan langsung umat Islam soal kekejaman komunis. Kalaulah ingatan dan pengalaman yang diwariskan orang-orang tua mereka dianggap hasil mesin propaganda Orba, jelas ini sebuah pelecehan sejarah.
Sungguh bila bicara sepak terjang komunis di Republik ini, umat Islam selalu terdepan. Terdepan sebagai korban yang dihabisi, dan terdepan pula yang tangguh menghadapi komunis. Kendati sudah ribuan yang jadi korban, umat Islam tidak begitu antusias memanfaatkan momentum untuk tampil bak pahlawan bagi negeri ini. Sayangnya, sikap mengalah ini justru celah bagi kalangan tertentu yang mengatasnamakan hak asasi manusia malah memperjuangkan sisi komunisme secara tidak bijak.
Mereka yang salah tangkap atau korban stigma, memang harus diberikan haknya oleh negara untuk dipulihkan. Namun meminta hak serupa, bahkan negara kudu minta maaf kepada mereka yang terang-terangan bagian dari partai komunis dan meninggalkan rekam jejak penuh darah, jelas ini sebuah kepongahan. Ya, pongah memanfaatkan adanya penguasa yang lemah dan dikelilingi simpatisan kaum merah ini. []