Oleh: Siti Aisyah
(Aktivis Dakwah, Kordinator Komunitas Muslimah Menulis Depok)
“Aku tak tahu syariat Islam, yang ku tahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu.”
Penggalan puisi di atas mendadak viral diperbincangkan di berbagai media beberapa waktu lalu, khususnya media sosial. Sepenggal bait puisi yang dibawakan oleh Ibu Sukmawati bukan sembarang puisi, namun puisi yang mengandung SARA, yang menghina aturan Sang Pencipta. Sontak para warganet sosmed banyak yang menghujat, khususnya kaum Muslim. Pasalnya, dari bait-bait puisi yang disampaikannya sangat terlihat kebencian dan ketidaksukaan akan syariat Sang Pencipta.
Begitu juga dengan konde, mendadak menjadi bahan pembicaraan. Berbicara terkait konde, ternyata sejak zaman Mesir kuno, sanggul atau konde telah dikenal dan digunakan oleh para bangsawan waktu itu. Para wanita Mesir kuno mempunyai kebiasaan mencukur bersih rambutnya untuk keperluan keagamaan, panasnya udara dan pertimbangan kebersihan. Setelah rambutnya tercukur habis, maka mereka memilih memakai rambut palsu berupa sanggul atau perisanggul. Bentuk sanggul dengan panjang rambut di bawah bahu. Dengan memakai konde, kebutuhan kesehatan, identitas status sosial dan tampilan sempurna terpenuhi sekaligus.
Di zaman tersebut, sanggul tidak hanya terbuat dari rambut manusia saja, tapi dibuat dari bulu hewan, serta serat daun palma. Pada umumnya, konde dipadukan dengan emas dan permata untuk menunjukkan status sosial para bangsawan. Selain itu, ukuran serta tinggi konde juga sangat berpengaruh terhadap status sosial seseorang, semakin besar ukuran sanggul maka semakin mahal harganya, semakin tinggi sanggul tersebut maka semakin tinggi pula status sosial seseorang.
Konde tak hanya digunakan oleh orang Mesir kuno saja. Tapi menurut catatan sejarah, Raja Prancis Louis XIII mengenakannya, begitu juga putranya. Dan pada masa Raja Prancis Louis XIV konde semakin populer dan terkenal ke seluruh dunia.
Saat ini, konde bahkan telah mendunia, begitu juga di Indonesia. Indonesia salah satu negara yang menjadikan konde sebagai simbol budaya bangsa Indonesia terutama bagi orang Jawa. Sanggul dikenakan oleh nenek moyang kita sebagai sanggul tradisional. Hingga saat ini, para pengantin yang mengenakan baju adat masih mengenakan sanggul sesuai dengan budayanya. Padahal jika kita lihat sejarahnya, tak pantaslah konde dijadikan sebagai simbol budaya Indonesia, terutama bagi kaum wanita yang ingin tampil anggun dan cantik.
Padahal, jika dilihat dari sejarahnya konde atau sanggul, sebenarnya konde bukanlah budaya asli Indonesia, melainkan budaya luar yang mengukur standar kecantikan dan kedudukan seorang terletak pada kondenya. Semakin besar konde seseorang, maka semakin tinggi pula kedudukannya. Inilah sebuah budaya kebodohan yang dari aturan yang dibuat oleh manusia, tapi bangsa kita malah ikut mengambil dan melestarikannya.
Sebenarnya, ada satu aturan yang bisa digunakan. Aturan itu tidak berubah-ubah dan tidak diukur dari besar kecilnya konde, melainkan aturan yang baku untuk seluruh masa. Aturan itu datang dari Sang Pencipta, yakni aturan Islam. Islam memberikan aturan, jika seorang wanita ingin mempercantik dirinya dalam berbusana, atribut yang dikenakan harus sesuai dengan aturan Islam. Atribut itu bukan konde ataupun sanggul, yang dapat menghiasi rambutnya, melainkan atribut kebesaran yang selalu dikenakan para wanita Muslim ketika hendak ke luar rumah yang selalu menutupi kepalanya, tiada lain dan tiada bukan itulah kerudung (khimar).
Mengenakan kerudung juga suatu kewajiban yang harus dipenuhi para wanita yang sudah baligh. Ketika Allah memerintahkan seorang wanita untuk mengenakan kerudung, maka sebagai seorang Muslimah, kita harus segera melaksanakannya. Sepertinya kita harus belajar kepada kaum wanita dari golongan Anshar, semoga Allah merahmati mereka. Ketika turun QS. An-Nur ayat 31 yang artinya” ..Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke arah baju mereka”. Maka kaum wanita Anshar pun dengan segera merobek kain sarung (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka.
Sesungguhnya, Rasulullah SAW pun sangat kagum dan beliau memuji wanita Anshar tersebut. Abu Dawud telah mengeluarkan hadits dari Shafiyah binti Syaibah dari Aisyah ra yang artinya: Sesungguhnya Beliau SAW, menuturkan wanita Anshar, kemudian beliau memuji mereka dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau SAW, berkata,”Ketika diturunkan surah An-Nur:31(tentang kewajiban memakai penutup kepala/kerudung, penj.), maka mereka mengambil kain sarungnya, kemudian merobeknya dan menjadikannya sebagai kain penutup kepala (kerudung).”
Jadi, ketika seorang wanita Muslimah hendak ke luar rumah, maka hiasilah rambutnya dengan kerudung, jika tidak mengenakannya maka ia akan mendapatkan dosa. Begitu juga dengan konde, setiap wanita keluar rumah mengenakan konde, maka ia akan berdosa dan tidak akan mencium baunya syurga. Naudzubillahi mindzalik.
Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang artinya, “Dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu [jarak jauh sekali]” (HR. Muslim).
Jika kita lihat, sanggul atau konde memenuhi kriteria dari punuk-punuh unta, seperti yang dijelaskan dalam hadits tersebut.
Maka, pantaskah kita sebagai wanita Indonesia dan sebagai seorang Muslimah mengagung-agungkan bahkan melestarikan konde sebagai budaya Indonesia? []