KONSEKUENSI iman, sebagaimana telah kita pahami bahwa menjadi seorang mukmin tidak cukup hanya sebatas pengakuan. Pengakuan beriman tersebut harus kita buktikan dalam bentuk sikap yang terpuji dan amal saleh.
Allah SWT akan menyatakan bahwa ia bukan orang yang beriman. Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّا سِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِا للّٰهِ وَبِا لْيَوْمِ الْاٰ خِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
“Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 8).
Karena itu, untuk membuktikan kebenaran iman seseorang, Allah SWT akan menguji, baik ujian itu dalam bentuk hal-hal yang menyenangkan seperti harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, popularitas yang mencuat, wajah yanag ganteng atau cantik dan sebagainya, maupun ujian yang tidak menyenangkan seperti penyakit yang diderita, risiko yang menimpa, paras yang jelek, kedudukan yang rendah, dan sebagainya.
Untuk membuktikan keimanan kita,.
BACA JUGA: Muslim, Inilah 10 Cara Menguatkan Iman Islam
ada enam konsekuensi keimanan yang harus kita wujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari:
1 Konsekuensi iman: Al-Yaqin
Yakni memiliki keyakinan yang mantap dan tidak sedikitpun memiliki keraguan akan kebenaran, keaslian ajaran islam, serta yakin akan prospek yang cerah bila menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran islam.
Dengan keyakinan yang tidak ada unsur keraguan itu barulah seorang mukmin mau menjalankan ajaran islam dengan sebaik-baiknya.
2 Konsekuensi iman: At-Taslim atau berserah diri kepada Allah SWT
Sikap seperti ini pernah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim a.s dan keluarganya yang menerima keputusan Allah SWT meskipun harus menyembelih anaknya sendiri yang bernama Ismail. Bahkan, Ismail sendiri menerimanya dengan senang hati, sedangkan Siti Hajar sampai mengusir setan yang mencoba menggodanya agar ia mencegah suaminya itu untuk menyembelih Ismail.
Sebagai mukmin, memang tidak ada pilihan lain kecuali harus menerima segala hal itu disukai maupun tidak.
3 Konsekuensi iman: As-sam’u wa at-tha’ah
Yakni mendengar dan menaati setiap ajakan, seruan, dan perintah Allah SWT. Karena itu, sebagai mukmin yang sejati, bila ada seruan, ajakan, dan perintah untuk menegakkan kebenaran islam kita harus menyambutnya dengan senang hati lalu berjuang bagi tegaknya kebenaran islam itu.
Begitu juga dengan seruan atau ajakan dan perintah untuk menghancurkan segala bentuk kebatilan.
4 Konsekuensi iman: I’tiba’ul Minhaj atau mengikuti aturan di dalam islam yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya
Kendala mengikuti syariat islam muncul karena begitu banyak orang yang tidak memahami keagungan ajaran islam dengan baik, kendala itu bisa datang dari penguasa dan orang tua seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim as atau dari anak seperti yang dialami oleh Nabi Nuh, bisa juga dari istri yang dialami oleh Nabi Luth as, atau dari keluarga keluarga dan masyarakat.
5 Konsekuensi iman: ‘Adamul haraj atau tidak ada perasaan berat dan bersempit dada dalam menerima hukum-hukum Allah SWT
Hal ini merupakan sesuatu yang penting karena tanpa hati yang senang, keputusan-keputusan Allah yang ringan sekalipun akan terasa berat. Sementara bila ada rasa senang, jangankan ketetapan Allah yang ringan, yang berat saja akan terasa menjadi ringan. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِيْ السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَا سِئِـيْنَ
“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!” (QS. Al-Baqarah [2]: 65)
6 Konsekuensi iman: ‘Adamul Khiyarah
Yakni tidak memilih-milih lagi peraturan lain selain islam ketika sudah ada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang memilih peraturan lain selain islam bukan hanya tidak diakui keimanannya, tetapi juga dianggap sebagai orang yang tidak pantas kalau mengaku orang beriman karena ia termasuk orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَمَا كَا نَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗۤ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
BACA JUGA : Iman adalah Ucapan dan Perbuatan
Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa menjadi mukmin itu memang tidak cukup hanya sebatas pengakuan, tetapi setelah kita mengaku, kita buktikan keimanan kita dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari.[]
Referensi: Kumpulan khutbah/Drs. H. Ahmad Yani/Al-Qalam 2013