Oleh: Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Wakil Ketua Umum MUI Pusat
SEBAGAI orang beriman, kita meyakini dan tentu harus pula mengimplementasikan hidup dengan konsumsi yang halal semata. Karena Allah telah memerintahkan kita, bahkan juga seluruh umat manusia, agar mengonsumsi yang halal.
Perhatikanlah ayat Al-Qur’an yang bermakna: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 168-169).
Sebagai perintah, maka itu berarti kita wajib untuk mengonsumsi yang halal. Karena mengonsumsi yang halal sangat penting, mencakup aspek lahir maupun batin. Pertama, konsumsi halal akan menghasilkan kesehatan secara rohani dan mendapat berkah dari Allah. Ini merupakan manifestasi dalam menaati tuntunan agama Allah. Orang yang taat kepada Allah tentu akan mendapat ridha dan berkah Allah.
BACA JUGA: Panduan Belanja Makanan Halal
Berikutnya, dalam riwayat dijelaskan juga, orang yang mengonsumsi makanan yang tidak halal, atau tegasnya, mengonsumsi makanan yang haram, maka amal ibadahnya tidak diterima oleh Allah, doanya tidak pula diperkenankan, hidupnya pun tidak akan pernah tenang. Ia selalu diliputi oleh keresahan dan kecemasan yang tiada tentu, bahkan disiksa di neraka, tak terkira. Sungguh kerugian yang tiada tara.
“Nabi saw. menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya lusuh penuh debu. Sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdoa, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku’. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu bergelut dan dikenyangkan dengan yang haram. (Maka Nabi saw. pun menegaskan), lantas bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya.” (HR. Imam Muslim).
Kalau tidak mengonsumsi yang halal, berarti mengonsumsi yang haram. Pilihannya hanya dua, yakni halal atau haram. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi saw., dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syubhat; de Facto Haram, maka harus Dihindarkan
Dari hadits tersebut dapat dipahami, yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga sudah jelas. Lalu di antara keduanya ada hal yang syubhat atau meragukan. Tapi dalam hadits tersebut, yang syubhat juga harus dihindarkan. Karena memang, yang syubhat itu secara de facto adalah haram. Sedangkan de jure dianggap syubhat atau meragukan. Sebab, dalam petunjuknya, yang syubhat itu harus dihindarkan, jangan dimakan, sampai terbukti kehalalannya. Jadi pemahaman dan implementasinya jangan dibalik, boleh memakan yang syubhat, kecuali kalau terbukti haramnya, sehingga menjadi terlarang. Bukan begitu! Maka jelas, yang syubhat itu tentu harus dihindarkan, karena terlarang.
Oleh karenanya, proses sertifikasi halal oleh LPPOM MUI merupakan hal yang sangat penting untuk mengklarifikasi kondisi produk konsumsi yang syubhat itu, serta memberikan jaminan kehalalannya. Tidak setiap orang dapat menilai dan mengetahui status kehalalan kandungan bahan baku, bahan penolong, dan sebagainya dari produk yang akan dikonsumsi. Dalam hal ini, proses sertifikasi halal oleh LPPOM MUI dilakukan oleh para ilmuwan yang mumpuni, mengguasai aspek-aspek proses produksi barang-barang konsumsi, mulai dari bahan baku, pengolahan dan proses produksi, pengemasan, sampai menjadi produk yang siap konsumsi. Lalu dilanjutkan dengan penetapan fatwa oleh para ulama di MUI, yang diakui kapasistas dan kredibilitasnya.
BACA JUGA: Kutinggalkan Syubhat Kudapatkan Hidayah
Selanjutnya, karena mengonsumsi yang halal itu sangat penting, dakwah halal juga tentu menjadi hal yang amat urgen, yakni mengingatkan dan mengajak umat agar mengonsumsi hanya yang halal saja, mengikuti tuntunan agama. Apalagi kalau kita perhatikan kondisi kehidupan masyarakat, banyak dari mereka yang tampak tidak peduli terhadap aspek halal yang amat vital ini. Bahkan tidak kurang pula yang menganggap enteng, atau meremehkannya. Padahal, kalau mengonsumsi yang tidak halal, berapa pun kecil atau sedikit ukurannya, niscaya akan berdampak sangat signifikan, bahkan bisa menimbulkan bahaya yang amat besar.
Meski Sedikit, Makanan Tidak Halal Sangat Berbahaya
Sebagai contoh perbandingan, lazimnya obat yang dikonsumsi berukuran kecil atau dengan dosis tertentu yang amat sedikit, tidak sampai seukuran sesuap nasi. Namun, obat memberikan pengaruh yang amat besar. Badan yang demam-panas bisa berubah menjadi dingin; yang tensi darahnya tinggi, bisa menurun; dan seterusnya.
Lebih spesifik lagi, mari kita mencermati makna firman Allah yang termaktub di dalam surat Al-Baqarah, dengan arti sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?’ Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. Al BAqarah: 26).
Kita tahu betapa kecilnya ukuran tubuh seekor nyamuk. Ia berseliweran terbang di sekitar kita, dengan suaranya yang berdenging khas, dan gigitan atau tusukan sungutnya membuat kulit menjadi pedih serta gatal. Menurut penelitian para ahli, di sungut nyamuk yang sangat kecil itu, yang berukuran jauh lebih kecil dari sehelai rambut manusia, ternyata terdapat banyak kuman penyakit yang hidup dan berkembang biak. Subhanallah, badan seekor nyamuk saja berukuran sedemikian kecil. Apalagi sungutnya, hampir-hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Terlebih lagi ukuran kuman penyakit yang hidup dan berkembangbiak di sungut nyamuk itu! Tentu jauh lebih kecil lagi, berukuran mikron, seperseribuan milimiter, dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron!
Ketika seekor nyamuk menusukkan sungutnya ke tubuh seseorang untuk menghisap darah, kuman penyakit yang terdapat di sungutnya itu pun dapat berpindah, masuk ke dalam tubuh dan aliran darah orang yang dihisap darahnya oleh si nyamuk. Banyak kasus menunjukkan betapa kemudian si orang itu lalu menjadi sakit, yang bila dibiarkan tanpa pengobatan dan perawatan yang baik, niscaya dapat berakibat fatal. Penyakit bertambah parah atau bahkan nyawa pun melayang, tanpa dapat dicegah sama sekali. Memang, ternyata banyak penyakit berbahaya yang ditularkan oleh nyamuk menimbulkan kerugian material yang tiada terkira, bahkan hingga memakan korban nyawa. Beberapa penyakit yang bersumber dari nyamuk, di antaranya malaria, demam berdarah deungeu (DBD), kaki gajah atau filariasis, dan lainnya.
Perhatikanlah, meskipun nyamuk berukuran amat kecil serta halus, apalagi kuman penyakit yang terdapat di sungutnya. Apabila kuman penyakit itu masuk dan menyerang badan, niscaya dapat memberi dampak yang sangat berbahaya. Apalagi kalau ukurannya besar, tentu efeknya akan jauh lebih berbahaya lagi. Tiada dapat diduga!
Pelajaran Sangat Berharga dengan Dampak Dunia-Akhirat
Dari contoh kasus tentang nyamuk yang dijelaskan secara gamblang dalam ayat Al-Qur’an itu, sepatutnya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dengan membuat analogi: betapa berbahayanya makanan yang tidak halal, kalau masuk ke dalam tubuh kita, sekecil apa pun ukurannya! Kuman penyakit dari nyamuk yang berukuran mikron saja dapat menimbulkan bahaya yang sedemikian rupa, apalagi makanan yang tidak halal masuk ke tubuh kita.
Bayangkan, bagaimana bila makanan yang dikonsumsi sehari-hari dihasilkan dari sumber haram. Artinya, kita, bahkan keluarga kita, tidak hanya mengonsumsi makanan haram satu atau dua suap, tapi berpiring-piring dan berhari-hari. Anak-anak kita tumbuh dengan makanan haram. Na’udzubillahi mindzalik! Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk mengonsumsi makanan yang halal, dan dengan demikian berarti kita harus menghindari produk atau pangan yang tidak halal. (HalalMUI)
Orang beriman yang menaati tuntunan Allah dan Rasul-Nya, di antaranya dengan mengonsumsi makanan yang halal, insya Allah akan selamat di dunia dan akhirat: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (QS. Muhammad: 12).
Dampak mengonsumsi pangan yang tidak halal itu bukan hanya menimbulkan penyakit secara fisik dan material, melainkan juga mental dan spiritual. Lebih lanjut lagi, bahayanya bukan hanya dirasakan di dunia yang fana, sementara ini, melainkan juga sampai di akhirat yang abadi, selamanya, nanti! Na’udzubillahi mindzalik. “…dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad:12)
Perhatikanlah makna ayat tersebut, betapa orang-orang kafir yang makan disebut sebagai binatang, antara lain karena mereka tidak mempedulikan aspek kehalalan makanan yang dikonsumsinya. Entah itu halal atau haram, semua terus dihantam. Karena mengonsumsi makanan yang tidak halal, maka dampak lebih lanjut adalah mendapat siksa di neraka!
Perilaku Nakal dan Kerusakan Moral
Berkenaan dengan hal ini, perlu dilakukan penelitian yang detail, mengapa banyak terjadi kenakalan bahkan juga kerusakan moral di kalangan anak-anak dan remaja. Banyak juga dari mereka yang berperilaku menyimpang, seperti mengonsumsi bahkan kecanduan narkoba, sering tawuran menimbulkan korban, sampai pada perilaku yang sangat sadistis; tega menghabisi lawannya hingga meregang nyawa.
Bisa diduga, sebagian penyebabnya adalah mengonsumsi makanan yang haram. Hal ini telah diisyaratkan lebih dari 14 abad silam, dalam hadits Nabi saw. yang terkenal, berupa wasiat Beliau saw. kepada sahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan makna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (HR. At-Turmudzi).
Dalam proses biologis, jelas, makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang niscaya akan memengaruhi pertumbuhan sperma maupun ovum. Setelah terjadi pembuahan, ovum yang telah dibuahi akan tumbuh menjadi janin yang bersemayam di dalam kandungan. Saat di dalam rahim atau kandungan ini pun, makanan yang dikonsumsi oleh sang ibu akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin.
Dengan paparan ini patut direnungkan bersama, mengapa terjadi kasus kenakalan anak dan kerusakan moral remaja yang cenderung semakin meningkat. Dari sisi agama, dapat diperoleh petunjuk bahwa hal-hal negatif itu terjadi karena makanan yang dikonsumsi sejak di dalam kandungan adalah makanan dan minuman yang tidak halal. Sebaliknya, mereka yang istiqomah di jalan yang halal, dapat membina rumah tangga dan keluarga yang berkah; sakinah, mawaddah, warohmah.
BACA JUGA: Tips Memastikan Kehalalan Makanan
Lebih lanjut lagi, dalam Kaidah Fiqhiyyah, makanan yang haram itu ada dua kategori; berupa dzatiyah dan ma’nawiyah. Secara dzatnya diharamkan dengan nash yang jelas, seperti bangkai, darah, serta daging babi. Sedangkan secara ma’nawiyah, yakni cara mendapatkan makanan itu yang tidak halal. Seperti dengan mencuri, korupsi, manipulasi, menipu, dan perbuatan terlarang lainnya. Maka dapat dipahami, mengonsumsi makanan yang haram itu berarti mengikuti jejak langkah setan. Ini merupakan perbuatan maksiat, melanggar tuntunan agama.
Perhatikanlah makna ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling meridhoi, suka sama-suka di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’, 4:29). Termasuk juga perbuatan curang, mengurangi timbangan, menyalahi spek yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dalam pekerjaan konstruksi proyek, misalnya. “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang…” (QS. Al Muthaffifin, 83: 1). Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Secara sosiologis ada yang menyebutkan, semua jejak langkah setan atau perbuatan terlarang itu sebagai “perilaku kenakalan orangtua”.
Dari penjelasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan Mafhum Mukholafah, sebagai pemahaman yang sebaliknya. Mengonsumsi makanan dan minumam halal secara konsisten dengan penuh komitmen niscaya akan menangkal sifat dan perilaku nakal dan tercela yang dilarang agama, baik pada diri setiap individu maupun keluarganya. []
SUMBER: HALALMUI