Oleh: Yuridistya Primadhita dan Ranti Wiliasih
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi IPB University
yuridistya22@gmail.com
SEPANJANG kuartal I-2020 sejumlah bank syariah tercatat mampu membukukan pertumbuhan yang baik dalam hal penyaluran pembiayaan dan pengumpulan dana pihak ketiga. Namun demikian bank syariah perlu mengantisipasi dampak covid-19 yang akan terasa secara signifikan terhadap sektor ekonomi dan keuangan mulai kuartal II-2020. Salah satu bentuk tindakan antisipasi yang dapat dilakukan bank syariah adalah mengidentifikasi nasabah yang terdampak covid, khususnya UMKM sebagai penggerak sektor perekonomian umat.
Jika pada krisis ekonomi 1997/1998 sektor UMKM mampu menjadi tulang punggung ekonomi nasional, maka saat ini situasinya sedikit lebih sulit. Sektor UMKM sangat terdampak dalam pandemi covid-19 antara lain karena masalah penurunan omset penjualan, terhambatnya proses distribusi, dan kesulitan bahan baku. Kondisi ini dapat diperburuk dengan karakteristik UMKM yang umumnya memiliki tabungan yang rendah.
Pada awal Mei 2020, Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sebanyak 163.713 pelaku usaha UMKM terdampak pandemi covid-19 dan OJK mencatat dari total Rp 337 Trilyun restrukturisasi perbankan yang sudah dilakukan, 49,55 persen di antaranya merupakan restrukturisasi kredit/pembiayaan UMKM.
Total pembiayaan modal kerja dan investasi UMKM di bank umum syariah dan unit usaha syariah per Desember 2019 mencapai Rp 66 triliun. Ini artinya nasabah UMKM di bank syariah cukup banyak dan mendominasi. Jika di dalam sistem perbankan konvensional model hubungan antara bank dengan nasabah adalah berbasis utang piutang, maka dalam tatanan ideal yang sesuai dengan nilai-nilai syariah, hubungan antara bank dengan nasabah pembiayaan didasarkan pada kemitraan.
Kemitraan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai jalinan kerjasama hubungan timbal balik, saling menguntungkan yang terjalin berdasarkan kepedulian, kesetaraan dan kebersamaan yang sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
Atas dasar semangat kemitraan tersebut, maka kebijakan restrukturisasi pembiayaan sebagaimana diamanatkan OJK belumlah cukup memadai dalam sebuah hubungan kemitraan ini. Bank syariah perlu melakukan lebih banyak hal dalam membantu nasabah UMKM dalam menghadapi era new normal ini.
Sebelumnya, bank syariah tentu saja diharapkan sedini mungkin memetakan kondisi para nasabah pembiayaannya, sehingga dapat teridentifikasi kondisi masing-masing nasabah serta dukungan apa yang memungkinkan diberikan.
Tidak menutup kemungkinan sekelompok nasabah pembiayaan pada sektor usaha tertentu justru menjadi lebih profitable dalam kondisi pandemi ini, mengingat ada sektor-sektor usaha yang mampu bertahan dan justru mengalami peningkatan pada masa saat ini seperti yang terjadi pada sektor usaha kesehatan dan usaha berbasis online.
Sebagai lembaga intermediasi yang turut berperan mengembangkan sektor UMKM, bank syariah dapat memberikan sejumlah dukungan yang memungkinkan bagi UMKM di era new normal.
Pertama, dukungan finansial. Dukungan ini dapat diberikan untuk mitra nasabah yang sangat terdampak dan tidak memiliki modal untuk memulai yang baru, sehingga perlu adanya pembiayaan qardhul hasan untuk membantu UMKM memulai kembali. Masa PSBB selama sekian bulan dapat cukup menguras dana tabungan UMKM. Kondisi UMKM yang umumnya intensif labor dan sedikit capital juga cukup menyulitkan kelompok ini ketika akan berbicara agunan. Dalam kondisi saat ini, sangat banyak jasa keuangan online yang menjanjikan syarat mudah namun mencekik.
Bank syariah sebagai mitra UMKM berperan agar nasabahnya tidak terjerat skema-skema mencekik seperti ini. Dana talangan dengan skema qardhul hasan sangat cocok diterapkan oleh bank syariah. Pemberian qardhul hasan dilakukan dengan memberikan pinjaman kebajikan sebagai salah satu upaya membantu pulihnya perekonomian umat saat ini. Jika diperlukan, bank syariah dapat memberikan grass period dalam waktu satu hingga enam bulan sehingga membantu UMKM untuk bernafas dan mulai memperbaiki kondisinya.
Bahkan untuk kelompok tertentu, skema qardhul hasan perlu dilengkapi dengan zakat sehingga keuntungan usaha dapat difokuskan untuk membayar cicilan dan pengembangan usaha. Kelompok inipun perlu dibekali bantuan teknis jika berencana mengalihkan bisnisnya ke sektor usaha yang lebih bisa bertahan di saat pandemi.
Kedua, dukungan yang sifatnya teknis. Hal ini diperlukan mengingat dalam kondisi new normal akan sangat banyak perubahan dalam aktivitas yang terjadi seperti kewajiban penggunaan masker, pengaturan jaga jarak, dan arahan prosedur menjaga kebersihan sehingga perlu adanya adaptasi dari pola lama sebelum adanya covid-19.
Untuk ini bank syariah perlu melakukan program-program dukungan seperti pelatihan digital marketing, branding, pengarahan tentang higienitas, kegiataan sharing nasabah yang bisa sukses di tengah pandemi, menghubungkan antara nasabah dengan klien, dan membentuk kelompok UMKM berdasarkan kesamaan usaha sehingga mereka dapat saling menguatkan dan diharapkan dapat bekerjasama mencari solusi untuk menghadapi dampak pandemi covid-19. Dalam hal ini peran relationship manager bank syariah harus dapat ditingkatkan tidak hanya sebagai pendamping nasabah UMKM namun juga merangkap sebagai bisnis coaching.
Dengan dua dukungan ini, bank syariah tidak saja menjadi bank yang bebas riba, namun juga berhasil membangun bank yang dapat menebar maslahat dan manfaat kepada banyak pihak mengingat selama ini UMKM merupakan sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dan berkontribusi besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Allahua’alam bisshowab []