KUCING termasuk hewan yang haram dimakan dagingnya. Karena dilarang oleh Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- untuk diperjualbelikan. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Zubair –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
سَأَلْتُ جَابِرًا، عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قَالَ: «زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ»
“Aku bertanya kepada Jabir (bin Abdillah) –rodhiallohu ‘anhu- tentang harga (hasil penjualan) anjing dan kucing ? Jabir menjawab : “Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari hal tersebut.” [ HR. Muslim : 1569 ].
Dalam riwayat lain, masih dari jalan sahabat Jabir bin Abdillah –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ
BACA JUGA: Kucing dan Sedekah
“Sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari harga (penjualan) anjing dan kucing.” [ HR. Abu Dawud : 3479, Ibnu Majah : 2161, At-Tirmidzi : 1279 dan selain mereka. Dan hadits ini shohih telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rohimahullah- ].
Sesuatu yang telah diharamkan hasil penjualannya, maka secara otomatis sesuatu itu haram hukumnya. Karena nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Alloh Ta’ala apabila mengharamkan sesuatu, Dia haramkan juga harganya (hasil penjualannya).” [ HR. Ad-Daruquthni : 2815, Ath-Thobroni dalam “Al-Kabir” : 12/200, Ibnu Hibban : 4838, Ahmad : 2678 dan selainnya. Dan hadits ini shohih ].
Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap sesuatu yang dharamkan hasil penjualannya, maka sesuatu itu haram. Oleh karena itu, kucing kita katakan haram, karena dilarang oleh Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- hasil penjualannya.
Setelah kita ketahui bersama bahwa kucing hukumnya haram, maka ada suatu kaidah yang berbunyi : “Bahwa hewan yang haram dagingnya untuk dimakan, maka kotorannya (tahi dan air kencingnya) najis.”
Kaidah ini diambil dari Sabda Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-:
«أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ، وَالتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ، فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَأَخَذَ الحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ» وَقَالَ: «هَذَا رِكْسٌ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering (kotoran keledai jinak). Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: “Ini najis.” [ HR. Al-Bukhari : 156 dari Abdullah bin Mas’ud –rodhiallohu ‘anhu- ].
Keledai jinak hukumnya haram. Dan dalam hadits di atas, nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menolak kotorannya seraya mengatakan: “Ini najis”. Hal ini menunjukkan, bahwa seluruh hewan yang haram dagingnya, maka secara otomatis najis kotorannnya (tahi ataupun air kencingnya). Misalkan anjing dan babi. Keduanya hewan ini kotorannya najis. Sebab termasuk hewan yang diharamkan oleh Alloh Ta’ala.
Telah diriwayatkan pula dari Anas bin Malik –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ، فَاجْتَوَوْا المَدِينَةَ «فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا» فَانْطَلَقُوا، فَلَمَّا صَحُّوا، قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ، فَجَاءَ الخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ، «فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ، وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ، وَأُلْقُوا فِي الحَرَّةِ، يَسْتَسْقُونَ فَلاَ يُسْقَوْنَ». قَالَ أَبُو قِلاَبَةَ: «فَهَؤُلاَءِ سَرَقُوا وَقَتَلُوا، وَكَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ، وَحَارَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ»
“Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air seni dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” Abu Qilabah mengatakan, “Mereka semua telah mencuri, membunuh, murtad setelah keimanan dan memerangi Allah dan rasul-Nya.”[ HR. Al-Bukhari : 233 dan Muslim : 1671 ].
Sisi pendalilan dari hadits di atas, sesungguhnya nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan rombongan dari Ukl atau Urainah untuk meminum air kencing onta. Dimana onta termasuk daripada hewan yang halal. Hal ini menjadi kaidah bagi kita sekalian, bahwa hewan yang halal dimakan, maka kotorannya suci. Mafhum mukholafah-nya (konsekwensi logisnya), berarti hewan yang haram dimakan, kotoran dan air kencingnya najis.
Oleh karena itu, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kotoran kucing (tahi dan air kencingnya) najis. Karena termasuk hewan yang diharamkan oleh Alloh dan Rosul-Nya –shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan pendapat ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Asy-Syafi’iyyah bahkan Hanabilah.
Al-Imam Ibnu Nujaim Al-Mishri –rohimahullah- (wafat : 970 H) berkata:
وَفِي فَتَاوَى قَاضِي خَانْ بَوْلُ الْهِرَّةِ وَالْفَأْرَةِ وَخُرْؤُهُمَا نَجَسٌ فِي أَظْهَرِ الرِّوَايَاتِ يُفْسِدُ الْمَاءَ وَالثَّوْبَ
“Dalam Fatawa Qodhi Khan : kencing kucing, tikus dan kotorannya najis dalam riwayat yang paling jelas, dapat merusak (kesucian) air dan baju.” [ Al-Bahru Ar-Roiq Syarhu Kanzu Ad-Daqoiq : 1/242 bersama “Takmilah-nya” oleh Muhammad bin Husain Al-Hanafi Al-Qodiri ].
BACA JUGA: 10 Hal Ini Menandakan Kucing Anda Sedang Stress!
Perlu untuk diketahui, madzhab Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa seluruh air kencing dan kotoran itu najis. Oleh karena itu, secara tidak langsung mereka menajiskan kotoran dan air kencing kucing. Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata:
أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ جميع الارواث والدرق وَالْبَوْلِ نَجِسَةٌ مِنْ كُلِّ الْحَيَوَانِ سَوَاءٌ الْمَأْكُولُ وَغَيْرُهُ وَالطَّيْرُ وَكَذَا رَوْثُ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ وَمَا لَيْسَ لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ كَالذُّبَابِ فَرَوْثُهَا وَبَوْلُهَا نَجِسَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ
“Sesungguhnya madzhab kami, seluruh kotoran dan air kencing itu najis dari seluruh jenis hewan, baik yang dimakan atau selainnya (yang tidak dimakan). Demikian juga kotoran ikan, belalang, dan hewan yang tidak memiliki darah mengalir seperti lalat, maka kotoran dan air kencingnya najis menurut madzhab (asy-syafi’i).” [ Majmu’ Syahrul Muhadzdzab : 2/550 ].
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz –rohimahullah- berkata:
إذا كان البعر من الحيوانات المأكولة كالإبل والبقر والغنم لا يضر، لا حرج فيه ولو أصاب الثياب، أو البدن؛ لأنه طاهر، أما إذا كان من أرواث الحيوانات التي لا تؤكل كالحمار، أو البغل أو الكلب، أو القط هذه نجسة، لا بد أن يزيلها من الثياب، ويطهر الثياب منها والبدن كذلك
“Apabila kotoran itu dari berbagai hewan yang (dihalalkan dagingnya) untuk dimakan, seperti onta, sapi dan kambing, maka tidak memudhorotkan dan tidak ada kesempitan di dalamnya walaupun mengenai baju atau badan karena ia suci. Adapun apabila dari kotoran hewan yang tidak (dihalalkan) untuk dimakan, seperti keledai, bighol, anjing, dan kucing, maka najis. Harus dihilangkan dan disucikan dari pakaian dan demikian pula badan.” [ Fatawa Nuur ‘Ala Darb : 5/388 ].
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rohimahullah- berkata :
كل شيء لا يؤكل فبوله و عذرته نجسة حتى و إن كان طاهرا فها هو الآدمي مثلا بوله و عذرته نجسة, و هو طاهر في حياته و كذلك بعد الموت ، و كذلك الهرة فهي طاهر إلا بولها و عذرتها فإنها نجسة
“Segala sesuatu yang tidak dimakan, maka air kencing dan kotorannya najis walaupun ia suci misalnya : manusia, air kencing dan kotorannya najis akan tetapi ia suci ketika hidup dan setela mati. Demikian pula kucing, maka dia suci, kecuali air kencing dan kotorannya, maka sesungguhnya hal itu najis. [ Fathul Dzil Jalal : 1/110 ].
Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa air kencing dan kotoran kucing tidak najis. Mereka berdalil dengan sabda nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ»
“Sesungguhnya kucing tidaklah najis, ia di antara binatang jantan dan betina yang selalu mengelilingi kalian.”[ HR. Abu Dawud : 75, Ibnu Majah : 367, At-Tirmidzi : 92 dan selainnya. Hadits ini telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth ].
Menurut hemat kami, hal ini keliru dari beberapa sisi:
Pertama:
Hadits di atas tidaklah menunjukkan sama sekali kepada sucinya kotoran dan air kencing kucing. Karena hadits tersebut jika kita lihat dari asbabul wurud-nya, datang dalam masalah jilatan kucing. Telah diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik – beliau merupakan menantu Abu Qotadah- beliau berkata:
أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ فَسَكَبَتْ لَهُ وَضُوءًا، فَجَاءَتْ هِرَّةٌ فَشَرِبَتْ مِنْهُ، فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ، قَالَتْ كَبْشَةُ: فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِي؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ»
“Bahwasanya Abu Qatadah masuk, lalu dia menuangkan (mempersiapkan) air wudhu baginya, lalu datang seekor kucing dan minum darinya, maka dia memiringkan bejana untuk kucing tersebut hingga ia selesai minum. Kabsyah berkata; Dia melihatku (ketika dia merasa bahwa) aku sedang memperhatikannya, maka dia berkata; “Apakah engkau heran wahai anak saudaraku?” Saya menjawab; “Ya.” Dia berkata; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kucing tidaklah najis, ia di antara binatang jantan dan betina yang selalu mengelilingi kalian.”[ HR. Abu Dawud : 75, Ibnu Majah : 367, At-Tirmidzi : 92 dan selainnya. Hadits ini telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth ].
Oleh karena itu, para imam ahli hadits, semuanya meletakkan hadits di atas dalam “bab jilatan kucing”, bukan dalam “bab sucinya air kencing dan kotorannya”. Seperti Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan selain mereka.
Kedua:
Illat (sebab) hukum sucinya jilatan kucing, karena kucing termasuk suatu jenis hewan rumahan yang sering kali mondar-mandir berkeliling dengan kita. Sehingga akan banyak berhubungan dengan kita. Oleh karena itu, maka kucing (badannya) demikian pula jilatannya dihukumi suci oleh syari’at. Seandainya najis, tentu hal ini akan menyusahkan umat Islam. Karena kita sangat sulit untuk terlepas dari bersentuhan dengannya serta dari jilatannya.
Maka hewan-hewan yang masuk jenis seperti ini, misalkan tikut, kecoa, ular cicak dan yang lainnya, walaupun haram akan tetapi semuanya suci secara dzat termasuk di dalamnya jilatannya. Ada suatu kaidah yang berbunyi : “Hukum itu akan berputar bersama illatnya. Jika illat itu ada, maka hukum juga ada. Jika tidak ada, maka hukum juga tidak ada.”
Adapun menjadikan hadits Abu Qotadah di atas ebagai dalil untuk kesucian kotoran kucing dan air kencingnya, maka tidak tepat. Karena kedua perkara ini ( membuang kotoran dan kencing ) termasuk perkara yang jarang terjadi (kadang-kadang) saja. Tidak seperti menjilat atau sentuhan kucing kepada kita. Maka pengqiyasan kotoran dan air kencing kepada jilatan kucing, adalah qiyas bersama adanya fariq (perbedaan). Dan qiyas seperti ini adalah qiyas yang rusak.
BACA JUGA: Wanita Jahat dan Kucing Peliharaannya
Saat membahas masalah jilatan binatang buas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- menukil sebuah ucapan yang sangat bagus dimana beliau berkata:
لَعَلَّهُ أَرَادَ إِذَا بَالَتْ فِيهِ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّهَا إِنَّمَا تَرِدُهُ لِلشُّرْبِ، وَالْبَوْلُ فِيهِ نَادِرٌ، فَلَا يَجُوزُ حَمْلُ اللَّفْظِ الْعَامِّ عَلَى الصُّوَرِ الْقَلِيلَةِ،
“Sepertinya beliau menghendaki apabila kencing di dalamnya. Karena secara umum, binatang buas itu datang ke air untuk minum. Adapun kencing di dalamnya sangat jarang. Maka tidak boleh untuk membawa lafadz yang umum untuk berbagai bentuk yang sedikit (jarang terjadi)…[ Syarhul ‘Umdatul Fiqh : 1/89 ].
Kesimpulan:
Air kencing dan kotoran kucing hukumnya najis. Dan ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari kalangan salaf (terdahulu) dan kholaf (belakangan). Barokallohu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani