Oleh: Cucu Atikah, cucuatikah94@yahoo.co.id
NYAMAN rasanya buat sebagian orang di Kobong sendirian. Menenangkan pikiran, menambah konsentrasi. Tapi bagiku tidaklah demikian adanya. Karena keadaan kobong yang begitu besar ruangnya, membuat hati tak begitu nyaman. Apalagi di waktu menjelang liburan sekolah dan libur lebaran—suasana yang asyik tak pernah terlihat disana. Sepi. Gelap. Galau.
Kebetulan kali ini sekolahku terakhir pembagian raport siswa. Besok, setelah dibagi raport, aku bisa pulang langsung. Bayangkan, aku harus menunggu sekitar seminggu belakangan ini di Kobong Nurul Huda sebelum bisa pulang liburan. Teman-temanku yang lain, sudah pulang lebih dahulu dalam dua hari terakhir karena jadwal pembagian raportnya memang berbeda-beda satu sekolah dengan sekolah lainnya. Ya, kobong ini memang dihuni oleh berbagai siswa dari beberapa sekolah di kota ini.
Dan sekarang, hanya tersisa dua orang saja di tempat ini yaitu aku dan Silvia—yang satu sekolahnya, dan yang tak habis kupikirkan mengapa pula pembagian raport-nya harus Sabtu mendatang! Kobong yang begitu besar dan megahnya harus dihuni oleh dua orang? Apa tak menakutkan itu?
Di kobong ini, katanya pernah ada bayangan hitam berkeliaran di udara, di sekitar lantai bawah yang selalu dipakai untuk pertemuan—kami di kobong menamakannya majelis. Konon, jika malam Jum’at tiba, bayangan itu selalu hadir di majelis, tepatnya dipojok dekat lemari khusus menyimpan Al-Qur’an. Tapi entah jam berapa. Mungkin lewat tengah malam. Aku selalu bergidik ngeri setiap kali membayangkannya. Dan alangkah anehnya bila mati lampu; bayangan tersebut selalu berubah menjadi putih. Itu juga masih katanya. Aku sendiri belum pernah menyaksikannya. Jangan deh. Aku tak berharap sekalipun.
Dan DUG! Ini kan malam Jumat! Aku terperanjat. Melirik wajah Silvia, dan kemudian berpura-pura tak ingat apapun tentang ruangan majelis itu.
“Sil, bekalmu masih ada?” tanyaku dengan suara yang kubuat setegar mungkin.
“Ada, banyak tuh. Tapi satu rupa saja, setoples keripik singkong pedas bawa bapakku seminggu yang lalu,” jawab Silvia tanpa menoleh ke arahku karena masih terus asyik membaca majalah.
“Wah, seru dong…..buat nanti malam….” ujarku terhenti.
Demi mendengar aku menahan omonganku, Silvia melirik ke arahku. “Ni, kamu inngat ….ini malam… apa?” tanyanya dengan pandangan memelas.
Aku menelan ludah, “Malam … Jum’at. Terus … kenapa?” ujarku akhirnya memaksakan diri mengeluarkan pertanyaan yang tak ingin kuingata-ingat dari beberapa waktu yang lalu.
“Di ….majelis?”
Aku menatap matanya nanar, kemudian memalingkan muka. “Udah ah, jangan bahas itu … Serem tau….”.
“Jangan ngambek gitu, dong,” kata Silvia. “Aku cuma mau ngajak sholawatan aja,”
“Sholawatan sih… sholawatan tapi….”
“Udah … ayo…!”
Kami melirik jam di dinding. Pukul 22.00. Sudah cukup malam ternyata. Kondisi kobong sudah sepi sekali. Aku teringat bayangan itu di majelis.
Kami mulai sholawatan.
Allohumma Sholli wasallim wabarik ala’ih……..
Yarobbi sholli alaa……… habiibikal mustofaa…
Wal’ali ahlil ulaa…………wal’arba’i khulafaa….
Robbi bijahinnabi…….Syamsil hudal ‘arrobi….
Wakullumantajtabi……..an’im lana bisyifaa…….
Di tengah-tengah sholawatan, tiba-tiba lampu mati. Aku dan Silvia menjerit sangat keras. Bayangan yang diceritakan bahwa jika mati lampu akan berwarna putih langsung ada di kepalaku. Mungkin juga di kepala Silvia.
Aku terus mengucapkan sholawat dalam hati dan memohon perlindungan kepada Allah SWT. Lampu menyala kembali. Aku dan silvia masih ketakutan, pelukan erat masih kami lakukan, walau lampu sudah menyala.
“Tidur nggak, Ni?” tanya Silvia.
Aku meringis, “Emangnya bisa?”
Silvia diam. Kemudian berbicara lagi, “Kalau, kalau kita pindah ke rumahnya ustadah gimana?”
Aku mengernyitkan kening, “Maksudmu kita ngungsi ke sana?”
Silvia mengangguk. Pasrah.
Aku menggeleng. “Kayaknya nggak deh. Mau tidur dimana coba kita? Kan ada ustad juga di rumah beliau. Mana anaknya empat orang….”
Kami diam lagi.
“Lebih baik kita makan kripik aja ……..!” ajak Silvia tiba-tiba, sambil langsung menyambar toples yang ada di mejanya. Ia membuka tutupnya, dan kemudian mulai mengunyah satu per satu kripik yang terlihat sangat merah itu.
Aku yang tadinya menganggap itu ide yang buruk—karena bagaimana bisa kaumakan sesuatu—di tengah kondisi seperti ini, akhirnya mulai mengambil kripik yang ada di toples itu.
Sambil duduk beralaskan tikar aku dan Silvia makan kripik pedas.
Aku mulai tertawa. Begitu juga Silvia.
“Ini, keripik pengusir setan!” ujar Silvia sambil memasukkan satu kripik lagi ke mulutnya.
“Setuju!” aku mengambilnya pula dan memasukkan ke mulutku.
“Huh… memang rasa takut hilang?” tanya Silvia.
“Tapi….pedasnya minta ampun, Sil,” ujarku. Mulutku ber-hah-hah karena lada. “Setan juga kagak nahan kale makan ini kripik…”
“Hihihihi, bisa-bisa, dia mencret lagi makan ini…”
Aku terkikik mendengar perkataan Silvia.
Tidak disadari kripik yang penuh setoples habis dalam sekejap. Mungkin karena dengan nafsu, atau juga karena lapar, kami tidak merasa kenyang-kenyang. Walaupun pedas tapi nikmat rasanya. Sampai aku merasakan tiba-tiba saja aku tertidur. Begitu pula Silvia nampaknya.
Aku sudah merasa tidur begitu lama, namun kemudian terbangun mendadak. Aku merasakan perutku sangat sakit. Tidak, bukan sakit. Ini mulas. Aku melirik jam dinding. Ini pukul 02.00 dini hari.
Aku membangunkan Silvia.
Silvia bangun dan mengucek-ngucek matanya. “Uhhh? Ada apaaa?” ujarnya tak sadar.
“Aku… mules, Sil,” kataku memelas. “Anter ke kamar mandi ya?”
“Apaan si?” tanya Silvia lagi, masih belum sadar juga rupanya ia.
Aku sudah tak tahan lagi. Rasa mulesku bergolak hebat dan minta dikeluarkan sekarang juga. Aku menarik Silvia, “Aku mau ke kamar mandi, Sil. Cepetan, nggak tahan nih…”
Silvia bangun tergopoh-gopoh. Mengikuti aku yang menarik tangannya.
Kami terpaksa turun lewat majelis, karena jika hendak ke kamar mandi, kami harus melewati ruangan ini. Kamar mandi di kobong terletak di luar.
Aku tak peduli. Tak merasa takut. Mulesku sudah di ujung. Sebodo amat, mau ada bayangan hitam atau putih kek. Daripada aku buang air di celana, eh?
Majelis itu gelap. Ketika kami membuka pintu, seseorang menyapa kami. Jantungku terasa mau copot, namun tak sampai aku berteriak. Begitu juga Silvia. Itu adalah Ummah yang mengontrol keadaan kami di kobong. Ummah ini yang mempunyai pesantren Nurul Huda nama aslinya Hj. Saodah.
“Kalian mau kemana ….masih malam ini?” tanya umma
“Kami mau ke kamar mandi, Ummah” jawabku.
“Oh… silahkan! Tapi hati-hati. pastikan kalian baik-baik saja.”
“Iya Ummah, terima kasih.”
“Sama-sama.”
Kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di kamar mandi. Langkahku sudah tak karuan rasanya. Ini pasti gara-gara kripik pedas itu! Aku menggerutu dalam hati.
Aku segera masuk, tanpa kupedulikan Silvi. Begitu tersalurkan, lega rasanya.
Tapi tiba-tiba, Silvia menggedor-gedor pintu kamar mandi. “Hani, Ni, cepetaaan dongggg…..”
“Hah, Silvia mo ngapain?” ujarku.
“Aku juga mules, nih. Nggak tahan!” teriaknya lagi.
Aku buru-buru membersihkan diri. “Iii.. iiya, sebentar..”
Aku keluar, Silvia masuk. Perutku mules lagi. Aku gedor pintu. Silvia keluar, aku masuk kamar lagi. Kami gantian bolak-balik kamar mandi, sampai badan terasa lemas. Sampai terdengar suara orang mengaji dari masjid kobong.
“Haduuh, perut mules, …….. mules,” ujarku.
“Sakit, sakit banget…” timpal Silvia.
“Sudah 10 kali bolak balik kamar mandi, Sil,” gerutuku sambil memegang perut.
“Capek badanku ini, lemas tak berdaya lagi rasanya, Ni,” sambung Silvia.
Akhirnya kami kembali ke kamar. Di sana kami ambruk tak berdaya lagi. Tenaga terkuras, menahan sakit perut ini. Kripik setan, kripik setan… []