MYANMAR– Kekerasan terbaru oleh militer Myamar terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine membuat pemimpin de facto Aung San Suu Kyi kembali jadi sorotan masyarakat internasional. Tokoh peraih Nobel Perdamaian itu dianggap belum cukup berbuat banyak untuk menghentikan kekerasan di Rakhine.
Warga sipil Rohingya jadi korban tindakan keras militer setelah kelompok militan di Rakhine menyerang pos-pos polisi perbatasan yang menewaskan 12 personel polisi pada Kamis malam pekan lalu.
Serangan itu direspons dengan operasi militer yang menewaskan lebih dari 90 orang, termasuk warga sipil. Ribuan warga Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh. Dalam pelarian, mereka mengungkap bahwa tentara Myanmar membakar rumah-rumah warga dan menembaki setiap objek bergerak, termasuk bayi yang tak bersalah.
Sorotan terhadap Suu Kyi salah satunya muncul dari Sekjen Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Yousef A Al-Othaimeen. Pemimpin kelompok negara-negara Islam itu menulis surat kepada Suu Kyi dan secara terpisah kepada Sekjen PBB Antonio Guterres.
OKI yang mengacu pada laporan terjadinya genosida terhadap populasi sipil di Rakhine telah membuat situasi di wilayah itu menjadi menyedihkan. Al-Othaimeen berharap Dewan Keamanan PBB bisa secara efektif menangani masalah ini.
Kepada Suu Kyi, Al-Othaimeen mengungkapkan keprihatinannya. Sejken OKI itu meminta pihak berwenang Myanmar segera menghentikan kekerasan, merehabilitasi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan mengizinkan badan bantuan kemanusiaan masuk untuk membantu orang-orang yang terkena dampak.
Sebelumnya, OKI mengutuk rentetan kekerasan yang terjadi yang dialami komunitas Muslim Rohingya.
”Ini telah terbukti dengan jelas dalam penghancuran sistematis dan terorganisir di banyak desa dan rumah oleh kelompok main hakim sendiri di bawah perlindungan tentara dan polisi, terutama di Quarter Nomor 5 di Kota Maungdaw,” bunyi pernyataan OKI yang dipublikasikan di situsnya.
”Peristiwa ini melanggar hak dasar Rohingya dan merupakan pelanggaran serius terhadap komitmen internasional pemerintah Myanmar untuk melindungi warga sipil. Kejadian kekerasan seperti itu hanya memperburuk ketegangan dan ketidakstabilan,”pungkasnya.[]