BANGKOK—Ratusan orang terbunuh, termasuk anak-anak kecil. Desa-desa dibakar sampai rata dengan tanah. Puluhan ribu orang putus asa melarikan diri, dan membawa anak-anak mereka, di tengah pembantaian yang nyata terhadap umat Muslim Rohingya.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan sebuah pesan; “malapetaka kemanusiaan” mungkin sedang berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pernah memberikan hadiah Novel Perdamaian kepada Aung San Suu Kyi, pada tahun 1991. Nobel itu diberikan sebagai penghargaan atas “perjuangan tanpa kekerasan untuk demokrasi dan hak asasi manusia” yang dilakukan Suu Kyi, dan hanya satu dari sekian banyak penghargaan internasional yang diperolehnya.
Dalam pemberian gelar tersebut di Universitas Nasional Australia pada tahun 2013, Kanselir Gareth Evans memanggilnya “contoh keberanian dan tekad yang tenang dalam menghadapi penindasan dan sebuah jagoan jalan damai menuju dunia yang lebih baik dan lebih adil”.
Namun, pemerintah Suu Kyi, yang berhasil meraih kemenangan telak dalam pemilihan 2015, pekan lalu menuduh pekerja bantuan internasional, termasuk pihak-pihak dari badan-badan PBB, membantu “teroris” Islam yang telah menyerang 30 pos polisi pada 27 Agustus 2017.
Pejabat tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Raad al-Hussein, menggambarkan klaim tersebut sebagai “sesuatu yang tidak bertanggung jawab”.
Reuters melaporkan bahwa sekitar 120.000 orang yang notabene Muslim Rohingya kehilangan tempat tinggal dan terancam tidak memiliki kewarganegaraan di Rakhine, tidak mendapatkan persediaan makanan atau perawatan kesehatan setelah kontraktor untuk FAO (Food and Agricultural Organization) menangguhkan bantuannya menyusul tuduhan pemerintah Myamnar. Staf FAO terlalu takut untuk turun ke lapangan.
“Akibat dari gangguan aktivitas di negara bagian Rakhine tengah, banyak orang tidak mendapatkan bantuan makanan normal dan layanan kesehatan mereka terganggu dengan sangat parah,” terang Pierre Peron, juru bicara Kantor Urusan Kemanusiaan PBB, seperti dikutip dari Sidney Morning Herald.
Pemerintah Suu Kyi menolak mengizinkan penyidik dan media PBB mengakses bagian-bagian Rakhine dimana penyidik bisa mendapatkan bukti dari kampanye pembersihan etnis yang sedang berlangsung.
Setelah serangan terhadap pos polisi oleh kelompok militan yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army, pasukan keamanan Myanmar berulah kembali dengan “operasi pembersihan”-nya.
Pengamat khawatir kekerasan tersebut akan lebih buruk daripada tahun lalu. Ketika itu, penyidik PBB mendokumentasikan kekejaman yang mereka gambarkan dalam sebuah laporan sebagai “kekejaman yang menghancurkan” yang bisa berarti kejahatan terhadap kemanusiaan.
Suu Kyi yang diidolakan kini, pernah menghabiskan 15 tahun sebagai tahanan jenderal militer Myanmar. Sekarang dia menolak untuk berbicara atas 1,1 juta jiwa Rohingya yang tidak berkewarganegaraan dan yang telah lama dianiaya.
Dia mungkin tidak mengendalikan angkatan bersenjata negaranya tapi, sejak dia duduk di jabatan yang lebih tinggi, dan Suu Kyi telah menolak untuk mengakui keadaan Rohingya dengan caranya sendiri
Dia mengalihkan pertanyaan tentang penganiayaan Rohingya, dengan mengatakan “peraturan hukum” yang harus diterapkan di Rakhine.
Dia juga menolak penyelidikan independen PBB karena “tidak sesuai untuk situasi negara kami.”
Sebuah komisi yang dibentuk negara yang dipimpin oleh mantan kepala PBB Kofi Annan memperingatkan lebih banyak radikalisasi jika ketegangan etnis di Rakhine tidak ditangani.
Tapi sampai saat ini Suu Kyi dan pemerintahannya dianggap gagal melindungi Muslim Rohingya dari pasukan keamanannya dan menolak tempat perlindungan mereka di negeri-negeri di mana mereka telah tinggal beberapa generasi.
Beberapa aktivis hak asasi manusia yang berkampanye selama bertahun-tahun karena pembebasan Suu Kyi saat dia menjadi tahanan politik kini merasakan pengkhianatan mendalam oleh wanita yang sebelumnya mereka anggap sebagai pahlawan itu.
Mungkin sudah saatnya dia mengembalikan Hadiah Pedamaian yang mulia. []
Redaktur: Muhammad Ramdan