Oleh: Sinta Yudisia
Mother. Wife. Writer. Wanderer. Someday, a Psychologist
Cantik. Muda. Berpendidikan. Berpenghasilan.
Demikian rata-rata kriteria perempuan yang akan dijadikan istri kedua, entah ia masih gadis ataupun janda. Berbeda dengan istri pertama yang sederhana, polos, lugu; biasanya istri kedua bertolak belakang dari istri pertama.
Benarkah?
Polemik Poligami
Persoalan poligami akan selalu pro kontra, tak akan pernah ada kata sepakat, apalagi bila pendapat lelaki dan perempuan dibenturkan. Perempuan beranggapan lelaki mau enak sendiri, lelaki beranggapan perempuan tidak memahami syariat. Persoalan semakin pelik jika poligami sudah melibatkan kontak emosi terlalu jauh; seorang suami yang tidak dapat curhat kepada istrinya lalu menemukan perempuan lain yang kebetulan cocok menjadi teman curhatnya. Atau, seorang suami menemukan istri yang selama ini diimpikannya, hal yang tidak didapatkannya dari istri pertama.
Secara alamiah, lelaki memiliki instink petualang, melebihi perempuan. Perempuan paling energik dan sangat bebas sekalipun, seiiring posisinya sebagai istri dan ibu pada akhirnya akan mengakhiri masa adventuringnya. Mendekam di rumah menikmati fitrah sebagai istri, ibu, pendidik, pengasuh, tukang masak dan seterusnya. Lelaki, walau bertanggung jawab terhadap kebutuhan nafkah keluarga; tetap memiliki semangat berpetualang. Ada lelaki yang teap suka main bola, naik gunung, jalan-jalan, hang out dengan teman-temannya, nonton keluar. Walau ia seorang family man sekalipun, sisi adventuring itu tidaklah hilang.
Bila kebiasaan adventuring ini mendapatkan pelepasan semestinya, biasanya ia tidak membutuhkan lagi petualangan cinta. Misal, ia aktif di organisasi, yayasan, sibuk mengejar karir, terlibat aktif mengasuh anak-anak maka energinya akan tersalur. Namun dalam kejenuhan dan keterdiaman, lelaki bisa memulai petualangan cinta.
Lha, apa hubungannya dengan poligami?
Poligami ala Rasulullah Saw dan orang-orang shalih.
Rasulullah saw menikah lagi setelah bunda Khadijah wafat. Pernikahan beliau rata-rata mengambil janda yang sudah tua. Pernikahan dengan perempuan muda nan cantik antara lain terjadi terhadap Aisyah dan Shofiyyah. Meski demikian, visi misi pernikahan beliau tidaklah bergeser dari kepentingan dakwah dan tentu sesuai syariah.
Sultan Murad menikahi Huma Khatun (Ibunda Al Fatih) sebagai istri ketiga, juga karena alasan politik. Selain alasan politik, Sultan Murad mampu mengkondisikan istri-istrinya untuk taat kepada Allah. Bacaan al Quran senantiasa menemani hari-hari mereka; begitupun pertempuran-pertempuran jihad mengisi hari-hari Sultan Murad.
Poligami sekarang
Sebetulnya, tidak ada keharusan lelaki harus menikah lagi dengan perempuan yang lebih tua. Harus janda. Beranak banyak. Jelek pula. Tidak ada satu ayatpun dalam Quran dan Hadits yang melarang lelaki menikahi perempuan disebabkan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Apakah haram menikahi perempuan pintar? Tidak. Apakah haram menikahi perempuan cantik? No. Apakah haram menikahi perempuan muda? Haram menikahi perempuan berpenghasilan dan kaya? Tidak dan tidak.
Silakan saja mencari istri pertama yang pintar, kaya, cantik, muda. Silakan mencari istri kedua yang seperti itu juga. Ketiga dan keempat juga dengan kriteria yang sama.
Lalu apa masalahnya?
Masalahnya adalah bila visi misi bergeser.
Dulu, menikah dengan istri pertama dalam kondisi serba kekurangan. Maklum, baru lulus kuliah. Penghasilan hanya berapa ratus ribu. Kontrakan rumah petak yang banjir dan bau. Yang dicari adalah perempuan yang tahan banting; mau bagaimanapun rupa dan bentuknya. Mau bagaimanapun asal keluarga dan kondisi keuangannya.
Dua puluh tahun kemudian, atau lima belas tahun, atau malah baru sepuluh dan lima tahun; ketika kondisi keuangan membaik. Si pemuda culun yang sederhana dulu berubah menjadi lelaki yang gagah dan berkharisma. Keuangan membaik dengan status mapan dan kedudukan terhormat; suami dengan istri dan sekian anak, rumah disini, kendaraan ini.
Ketika hasratnya untuk memiliki istri kedua muncul, biasanya ia tidak lagi memilih seperti istri pertama yang apa adanya. Setidaknya yang kedua hadir disaat posisinya mapan, maka ya, haruslah perempuan yang lumayan. Lumayan parasnya. Lumayan pendidikan dan keuangannya. Perkara istri pertama sakit hati dan anak-anak tak mengerti dengan pilihan sang kepala keluarga; itu urusan kesekian.
Membenci syariat?
Jika perempuan menolak poligami, jangan serta merta mengatakannya; nggak mau patuh ya sama perintah Allah? Nggak mau taat syariat ya? Mau menolak isi Quran?
Maka, meski hati patah dan sakit luarbiasa, pilihan poligami terpaksa dijalankan. Apapun konsekuensinya. Kalau nanti istri pertama sakit-sakitan, dikira tidak ikhlas. Kalaupun menerima dengan hati lapang, sepanjang jalan pernikahan pastilah akan tumbuh beragam persoalan yang kadang-kadang, tertuding lagi perempuan. Ini gara-gara istri pertama gak mau mengalah. Ini gara-gara istri kedua ngelunjak.
Lelaki adalah Qowwam
Lelaki adalah peimpin bagi dirinya, istri, anak-anaknya. Keluarganya. Ummatnya. Pernikahan haruslah membangun mahligai yang sakinah mawaddah warrahmah. Seharusnya, lelaki yang memiliki logika lebih dari perempuan memprediksi apa yang akan terjadi ke depan.
Menikahi istri kedua berusia 25 tahun saat istri pertama 45 tahun, apa dampaknya? Bila istri pertama merelakan, apa yang harus disiapkan suami? Apa kesepakatan yang harus ditegakkan antara istri pertama dan kedua? Bagaimana tentang maisyah? Bila istri kedua memiliki pegnhasilan besar, seorang pengusaha atau wanita karir; bukan berarti kewajiban nafkah sang Qowwam teralihkan, bukan?
“Nanti pembagian nafkah bagaimana?” istri pertama bertanya cemas, mengingat kebutuhan anak-anak.
“Tenang, dia bekerja dan berpenghasilan kok,” jawab suami, menjelaskan si kedua
Lantas, dimana sikap ke qowwamannya jika ia memilih istri yang mapan dan merasa tidak punya kewajiban menafkahi?
Tak Bisa Berbagi Hati
Rasulullah saw memang lebih mencintai Aisyah. Aisyah dan Shafiyyah pun pernah berselisih. Aisyah dan Hafsah pun pernah berselisih. Tak akan pernah persoalan hati dan emosi dapat ditimbang dengan rasio.
Meski, pengakuan beberapa lelaki menyatakan, cinta terhadap istri pertama dan kedua bukan seperti membagi hati (seperti mencintai anak 1, 2, 3, 4 dst tetap sama besarnya); kecenderungan itu pastilah ada.
Cenderung terhadap istri pertama yang telah berkorban waktu, tenaga, hati, pikiran dan semua yang dimiliki. Atau cenderung terhadap istri kedua yang cenderung ‘baru’; baru sebagai teman, baru sebagai kekasih, baru sebagai pasangan.
Percayalah, kecenderungan itu pasti muncul.
Siapkah laki-laki jujur dan menanggung konsekuensinya?
Beberapa berjanji, tak akan meninggalkan anak-anak ketika memiliki istri yang berikut; nyatanya tak selalu kondisi ekonomi stabil. Keharusan mencari nafkah bagi dua istri menyebabkan waktu semakin tersita. Dua dapur dan dua keluarga tentu membutuhkan lebih banyak supplai finansial. Belum lagi perselisihan yang menguras emosi. Antar kedua istri, antar kedua keluarga, antar anak-anak. Ujung-ujungnya, poligami yang disalahkan; tuh kan, anak-anaknya nakal. Keluarga morat marit. Bapaknya kawin lagi sih!
Lalu bagaimana?
Bila, memang poligami akan dilakukan, bisakah seorang suami menceritakan secara jujur apa yang nanti akan terjadi; keuangan, waktu, urusan ranjang, kecenderungan hati, anak-anak dan seterusnya?
Bila berkomitmen akan bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi, bisakah ia menepati janji-janjinya?
Dan bila ingin seperti Rasulullah Saw, bisakah istri kedua adalah gadis-gadis yang sudah sangat matang dalam kesendirian. Janda-janda beranak banyak yang kurang mampu. Perempuan-perempuan tak cantik yang memang tidak dilirik laki-laki.
Bisakah sang istri pertama tetap perempuan yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih terhormat?
Atau mau jujur bahwa dalam petualangan kali ini, pernikahan disimbolkan demikian; istri pertama untuk keprihatinan, istri kedua untuk bersenang-senang. Kalau demikian halnya, janganlah membawa nama sunnah rasulullah saw sebagai alasan poligami.
Sebab sunnah Rasulullah juga berbareng dengan kewajiban untuk menghargai ibu dari anak-anak; perempuan yang berbakti terhadap suami, istri yang sehari-hari menyisihkan seluruh kepentingan pribadinya untuk suami tercinta. []
Sumber: Blog Sinta Yudisia—penulis, pegiat literasi Forum Lingkar Pena (FLP) dan Pelita—silakan berkunjung ke https://sintayudisia.wordpress.com/.