UPAYA melemahkan Islam dijalankan dengan berbagai strategi. Diantara fokus pelemahan umat Islam adalah pada sumber kekuatan terbesar umat Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana biasanya, berbagai serangan hanya akan pecah diatas batu karangnya yang kokoh.
Serangan yang lebih berbahaya bisa jadi justru tidak datang dari luar, melainkan dari dalam umat Islam sendiri, karena hal itu membuat serangan menjadi samar-samar, berbeda kalau serangan dari luar, maka akan tampak jelas sebagai serangan.
Misal, ada pihak muslim tetapi mereka berusaha mengubah cara memahami Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci, tetapi menafsirkan isinya adalah semana-mata hasil pekerjaan manusia. Dengan cara ini, mereka ingin memisahkan Al-Qur’an dari pemahaman Al-Qur’an yang sudah mapan, menggantinya dengan metode tafsir baru seperti hermeneutika.
Pendekatan ini memang masih mengakui bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah, tetapi pada saat yang sama mengurangi pengaruh nilai-nilai ilahiah dalam memahami isinya. Dari sinilah muncul berbagai paham seperti modernisme agama, sekularisme, humanisme, dan teori-teori hasil penafsiran lainnya yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus.
Sebagian pemikir ini menekankan hubungan antara penafsir dan teks, tetapi mengabaikan hubungan antara Allah sebagai pembicara dan teks itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd dan gurunya Muhammad Arkaun (1920-2010) dengan istilah “Ansanatu Al-Qur’an” (humanisme Al-Qur’an). Menjadi akar dari kemunculan kampanye “humanisme Islam”.
Meskipun pendekatan yang digunakan terkadang berbeda dari para pemikir yang sepemikiran dengan Arkaun, namun tujuan akhirnya tetap sama, yakni menghapus pengaruh ilahiah dalam memahami Al-Qur’an sehingga umat Islam dapat kehilangan arah dalam menjalankan agamanya yang secara keseluruhan (kaffah) dalam semua aspek kehidupan.
BACA JUGA:Â Â Biografi Al-Syaibani dan Pemikiran Ekonomi pada Masanya
Menurut Syaikh Hisyam Masyali dalam Al-‘Adau’ An-Na’imu Li Al-Qur’an menjelaskan ada beberapa cara yang digunakan untuk menjauhkan Al-Quran dari otoritas ilahiah, di antaranya:
1. Menekankan hubungan antara penafsir dan teks kitab suci, tetapi mengaburkan hubungan antara Allah dan teks kitab suci. Salah satu pemikir yang menggunakan pendekatan ini adalah Muhammad Arkaun dan murid-muridnya.
2. Menganggap Al-Qur’an sebagai teks yang bisa berubah maknanya sesuai perkembangan zaman. Dalam pendekatan ini, hubungan Allah dengan teks kitab suci dan hubungan penafsir dengan teks kitab suci sama-sama diabaikan.
3. Langsung mengadopsi pemikiran modernis tanpa teori yang jelas. Pendekatan ini banyak digunakan oleh jurnalis dan akademisi untuk menyebarkan ide-ide yang mengaburkan umat terhadap Al-Qur’an di berbagai platform media.
Muhammad Arkaun berpendapat bahwa semua teks, termasuk Al-Qur’an, terikat dengan hukum bahasa dan sejarah manusia. Dengan demikian, menurutnya, Al-Qur’an bukan lagi firman Allah yang tetap, melainkan bagian dari sejarah yang bisa ditafsirkan ulang sesuai perkembangan zaman. (Nasr Hamid, Naqdu Al-Khithabi Ad-Dieni, 119)
Pendekatan ini secara halus menggeser posisi Al-Qur’an dari kitab suci yang memiliki otoritas mutlak menjadi sekadar teks biasa yang dapat diubah-ubah maknanya oleh manusia. Akibatnya, umat Islam tidak lagi menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman sempurna dalam hidup mereka.
BACA JUGA: Â Dari Voltaire hingga Rosseau, Inilah Pandangan 3 Tokoh Pemikir Prancis tentang Nabi Muhammad ï·º
Para pemikir ini menyatakan bahwa Al-Qur’an memang kitab suci dalam bentuk lafaznya, tetapi bisa ditafsirkan bebas oleh manusia, maka maknanya menjadi relatif dan bisa berubah. Mereka beranggapan bahwa tafsir-tafsir yang sudah mapan dalam Islam tidak lagi relevan, sehingga perlu ada gerakan untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan zamannya.
Gagasan-gagasan ini bertujuan untuk menghilangkan dimensi ilahiah dalam pemahaman Al-Qur’an. Dengan menjadikan Al-Qur’an sekadar teks biasa yang dapat ditafsirkan bebas, mereka berusaha menghapus perannya sebagai pedoman sempurna dalam kehidupan umat Islam. Jika umat Islam tidak waspada, mereka bisa kehilangan pegangan dalam memahami agamanya sendiri.
Wallahu A’lam. []