Oleh: Ustaz Felix Y Siauw
TEDUH hijabnya bagai perisai panas dan terik dunia, ialah perlindungan tak hanya dari lirik tatap lelaki, juga penjagaan bagi dirinya, pengingat jatidirinya sebagai hamba.
Entah mengapa ia senantiasa tertunduk, kala susah dan kala bahagia. Saat bermunajat pada Tuhannya, saat membaca surat cinta dari Tuhannya, saat memohon pada Tuhannya.
Mungkin itulah sebab ia selalu bisa menjaga pandangannya, sebab pikir manusia tidak ada yang bisa menyangka, tapi pikir dan pandangan sendiri masih dalam kendalinya.
Sesekali ia meringis, risau akan kaumnya. Layar gawainya mengiris hatinya, betapa Muslimah saat ini tak lagi bermesra dengan malu, apalagi bicara mulia.
Ia saksikan kaumnya, berlenggak-lenggok diatur irama, di dalangi oleh hawa nafsu. Tangan dan kaki mereka berjoget sementara jiwa mereka mengidolakan fana.
Apapun asal terkenal meski harus menjadi hamba eksistensi, tutorial dandan dan seratus mode transisi, iseng dan narsisme yang sudah keterlaluan atas nama kreasi manusia.
Semakin erat pelukannya pada Al-Qur’an, yang kini seolah sudah jadi barang dari dimensi yang berbeda. Ditinggalkan oleh kaumnya, tak lagi dirindukan, dilupakan begitu saja.
Ia menghela nafas panjangnya, kembali melantunkan ayat-ayat Tuhannya. Ia tak hendak menyerah, dakwah adalah jalan cintanya. Islam adalah hidup dan matinya.
Azzam itu ditanam dalam sukmanya, andai Allah memilihnya untuk mengemban amanah keturunan, maka akan dia siapkan generasi-generasi herois bersahaja.
Sampai waktu itu tiba, sampai jemputan itu tiba, ia terus bersabar, terus bersama dengan mereka yang menyeru di jalan Allah, meninggikan kalimat Tuhannya.
Jangan tanya lelah, jangan tanya airmata. Tapi itulah namanya pengorbanan karena cinta. Yang ia yakini adalah, Tuhannya Allah, satu-satunya, dan takkan pernah ingkar janji-Nya. []