ALLAH SWT memberikan rezeki kepada kita dengan berbagai macam cara. Ada yang ditakar. Ada pula yang dihamparkan. Allah SWT sudah menetapkan berbagai macam rezeki untuk makhluk-makhluknya.
Ada rezeki yang telah dijamin. Allah SWT berfirman,
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Tidak ada satu makhluk melatapun yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin ALLAH rezekinya.” (Surah Hud : 6).
Ada juga rezeki karena usaha sebagaimana firman Allah SWT,
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Tidaklah manusia mendapatkan apa-apa kecuali apa yang dikerjakannya.” (Surah An-Najm : 39).
BACA JUGA: Bentuk Rezeki dalam Islam
Namun hal yang sering dilupakan soal rezeki adalah kekuatan tawakal. Banyak dari kita yang kurang bertawakal dalam permasalahan rezeki.
Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki.
Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya, dan Al-Hakim. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih).
[HR. Ahmad, 1:30; Tirmidzi, no. 2344; Ibnu Majah, no. 4164; dan Ibnu Hibban, no. 402. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat dan perawinya tsiqqah, terpercaya, termasuk perawi shahihain, selain ‘Abdullah bin Hubairah yang merupakan perawi Imam Muslim].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tawakal itu jadi sebab terbesar datangnya rezeki.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:496-497)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Nabi shallalahu ‘alaihi wa salam membacakan ayat ini pada Abu Dzarr, beliau berkata kepadanya,
لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya manusia seluruhnya memperhatikan ayat ini, tentu hal itu akan mencukupi mereka.” Maksudnya, seandainya kaum muslimin merealisasikan takwa dan tawakal dengan benar, urusan dunia dan agama mereka akan tercukupi. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497)
Inti dari tawakal adalah benar dalam menyandarkan hati kepada Allah dalam meraih maslahat atau menolak mudarat, berlaku dalam perkara dunia maupun akhirat seluruhnya.
Dalam tawakal, kita menyandarkan seluruh urusan kepada Allah. Dalam tawakal, kita merealisasikan iman dengan benar yaitu meyakini bahwa tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang mendatangkan mudarat, tidak ada yang mendatangkan manfaat selain Allah. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497).
BACA JUGA: Rezekimu Sudah Ditanggung
Mewujudkan tawakal bukan berarti tidak melakukan usaha sama sekali. Karena usaha juga diperintahkan untuk dilakukan. Berusaha sudah termasuk sunnatullah. Karena Allah memerintahkan untuk mencari sebab bersamaan dengan bertawakal kepada-Nya.
Menempuh sebab dengan usaha badan kita merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati (batin) kita adalah bagian dari keimanan kepada Allah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:498.
Buah dari tawakal adalah rida pada qadha’ (ketetapan) Allah. Oleh karenanya, sebagian ulama menafsirkan tawakal dengan rida kepada Allah. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:508. Wallahu a’lam. []
SUMBER: RUMAYSHO