SEORANG guru muda pulang dari memotong kayu di gunung. Di perjalanan, ia berjumpa seorang pemuda yang baru saja menangkap seekor kupu-kupu di genggamannya.
Pemuda ini dengan jemawa menantang sang guru, “Bagaimana kalau kita bertaruh?”
“Bagaimana taruhannya?” tanya sang guru.
“Coba tebak kupu-kupu dalam genggamanku ini, hidup atau mati? Kalau Anda kalah, sepikul kayu itu jadi milik saya!” Demikian kata si pemuda, lantang.
BACA JUGA: Istiqamah Itu Berat tapi Bukan Tidak Mungkin
Sang guru mengangguk setuju. Lalu katanya menebak, “Kupu-kupu dalam genggamanmu itu mati.”
Pemuda itu tertawa puas, “Guru… Anda salah.” Sambil membuka genggamannya, kupu-kupu itu pun terbang lepas ke alam bebas.
Sang guru berkata, “Baiklah, kayu ini milikmu.” Setelah itu, ia pergi dengan gembira.
Pemuda itu tidak mengerti kenapa sang guru terlihat begitu gembira. Tapi di lain pihak, ia mendapat sepikul kayu bakar tanpa perlu bekerja keras. Dengan gembira, kayu itu dibawanya pulang.
Setibanya di rumah, ayah si pemuda pun lantas bertanya tentang sepikul kayu itu. Pemuda itu bercerita dengan bangga, kisah kemenangannya dengan sang guru.
Tanpa disangka, ayahnya sangat marah. Beliau berkata, “Kamu mengira kamu betul-betul menang? Kamu itu kalah, tapi tidak mengetahui bagaimana kalahnya.”
Pemuda itu sangat bingung. Ayahnya langsung memerintahkan si anak memikul kayunya. Berdua mereka bergegas mengembalikan sepikul kayu bakar itu ke kediaman sang guru, sambil meminta maaf.
BACA JUGA: Menangis yang Dianjurkan dalam Islam
Beliau hanya mengangguk dan tersenyum, tanpa mengatakan apapun.
Dalam perjalanan pulang, pemuda itu minta penjelasan kepada ayahnya. Sang ayah menarik napas panjang, menerangkan, “Begitu guru itu bilang kalau kupu-kupu itu sudah mati, baru kamu mau melepaskan kupu-kupu itu, sehingga kamu ‘menang‘.”
“Kalau guru itu bilang kupu-kupunya masih hidup, kamu pasti meremas hewan lemah dalam genggamanmu itu, hingga mati. Kamu juga yang menang taruhan!”
“Anakku. Kamu mengira guru itu tidak tahu kelicikanmu? Sebenarnya beliau kalah sepikul kayu, tapi memenangkan cinta kasih. Cinta kasih yang murni memikirkan kebahagiaan semua makhluk tanpa pamrih. Bagi yang egois? Hanya memikirkan apa yang akan ia dapatkan.” []
SUMBER: IPHINCOW