JAKARTA—Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah M. Cholil Nafis, Lc., Ph D mengingatkan tentang ibadah haji rukun Islam yang kelima yang secara Filosofis menunjukkan totalitas beragama.
“Haji adalah totalitas ibadah, baik secara fisik waktu, maupun harta sehingga orang yang sudah punya kemampuan untuk berangkat ibadah Haji tapi tidak melaksanakannya disebutkan oleh Sayyidina Umar, bahwa ia tak ada bedanya dengan yang mati Nasrani atau Yahudi,” ujarnya kepada Islampos.com di Jakarta, Senin (13/8/2018).
BACA JUGA: Musim Haji 2018, Bayi 6 Bulan Asal India Jadi Jemaah Termuda
Cholil menambahkan, dalil Alqur’an yang digunakan untuk menunjukkan wajibnya Haji adalah Firman Allah SWT. Dalam surat al Imran ayat 97: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam“. QS. Ali Imran: 97.
“Bagi orang-orang yang sudah baligh dan berakal memiliki bekal, sarana perjalanan dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan serta badannya sehat maka hukumnya wajib melaksanakan ibadah haji dalam seumur hidup. Artinya, verpahala jika dikerjakan dan berdosa manakala ditinggalkan,” ungkapnya.
Namun, ia menjelaskan, ulama berbeda pendapat tentang apakah orang yang sudah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah Haji harus menyegerakan Haji (al faur) atau boleh saja menundanya kepada tahun berikutnya (al-tarakhi).
BACA JUGA: Haji; Manusia Berbahaya
“Menurut Jumhur ulama hukum orang yang sudah mampu melaksanakan ibadah Haji wajib menyegerakan ibadah Haji, karena kita diperintahkan oleh hadits Nabi saw untuk bersegeralah bagi yang sudah mampu. Demikian juga Alqur’an mengajarkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan,” pungkasnya.
Dirinya menambahkan, berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i, boleh menunda pelaksanaan ibadah haji (al-trakhi) pada tahun berikutnya. []
REPORTER: RHIO