SEPERTI yang kita ketahui bahwa sutra diharamkan bagi laki-laki. Ini sejalan dengan beberapa hadits yang shahih tentang keharaman emas dan sutra buat laki-laki dari umat Nabi Muhammad SAW.
“Dihalalkan emas dan sutra buat wanita dan diharamkan keduanya buat laki-laki dari umatku,” (HR.An-Nasa’i).
Namun meski demikian, ada juga udzur syar’i yang membolehkan laki-laki mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra, misalnya anak-anak laki, atau orang yang sedang sakit, atau dalam keadaan perang. Dan ada juga keringanan kalau ukurannya sangat kecil.
1. Anak-anak
Sebagian ulama dari mazhab Asy-Syafi’iyah menegaskan bahwa laki-laki yang masih kecil atau belum baligh dihalalkan memakai sutra.
Alasannya karena larangan agama itu hanya berlaku untuk mereka yang mukallaf, yaitu yang sudah baligh. Dan larangan itu tidak berlaku buat anak-anak karena mereka belum mukallaf dan juga belum baligh.
Sebaliknya, sebagian pendapat ulama lain menegaskan bahwa meski belum baligh, namun anak laki-laki tetap terkena hadits pelarangan laki-laki memakai sutra.
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits Jabir berikut ini:
“Dahulu kami mencabut sutra dari anak laki-laki dan membiarkannya dari anak perempuan,” (HR. Abu Daud).
Namun menurut pendapat ini, karena anak laki-laki yang masih kecil yang belum baligh bukan seorang mukallaf, tentu kalau dipakaikan pakaian sutra bukan kesalahan dirinya. Tentu dirinya tidak menanggung dosanya, melainkan orang tuanya atau siapa pun yang memberikan anak kecil itu pakaian dari sutra.
2. Orang Sakit
Ibnu Hubaib dari mazhab Al-Malikiyah membolehkan laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra bila dengan alasan sakit kulit. Dasarnya adalah hadits shahih berikut ini:
“Rasulullah SAW memberi keringanan buat Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair radhiyallahuanhuma untuk memakai pakaian dari sutra karena penyakit kulit yang menimpa mereka,” (HR. Bukhari).
Bahkan mazhab Asy-Syafi’iyah meluaskan ruang lingkup batasan kebolehan memakai sutra, yaitu bila seseorang tersika karena cuaca yang terlalu panas atau terlalu dingin.
Sebaliknya, ada juga pendapat yang mempersempit dengan mengatakan bahwa keringanan (rukhshah) yang Rasulullah SAW berikan kepada kedua shahabatnya itu bersifat khusus hanya kepada mereka berdua, dan tidak berlaku buat orang lain.
3. Perang
Pada saat perang berlangsung, para ulama berbeda pendapat, apakah sutra boleh dikenakan oleh laki-laki.
Abu Yusuf dan Muhammad, dua ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah serta Ibnu Majisyun dari mazhab Al-Malikiyah membolehkan secara mutlak. Sebab dalam pandangan mereka, illat dari keharaman memakai sutra buat laki-laki adalah karena dianggap pakaian kesombongan. Sedangkan sombong untuk menghadapi orang kafir tidak menjadi halangan.
Al-Hanabilah terbelah dua pendapatnya, tergantung dari situasi perangnya. Kalau memang dibutuhkan memakai sutra, hukumnya boleh. Sebaliknya, kalau tidak terlalu penting dan tidak ada keperluannya, hukumnya tetap haram dipakai.
BACA JUGA:
Sang Raja Muslim yang Saleh dan Perkasa
Bahaya Liberalisasi dalam Film
4. Bagian Kecil
Para ulama menyebutkan keharaman sutra buat laki-laki bila seluruh pakaiannya terbuat dari bahan itu. Sedangkan bila ada bagian kecil dan hanya tertentu saja yang terbuat dari sutra, hal itu merupakan keringanan alias rukhshah.
Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini:
“Rasulullah SAW melarang memakai sutra kecuali pada bagian kecil seukuran dua, tiga atau empat jari,” (HR. Muslim)
Hadits ini juga menjadi dasar kebolehan sutra bila untuk bagian tambahan yang terpisah dari pakaian. Istilahnya adalah ‘alam. Bahkan Ibnu Hubaib membolehkan sutra pada ‘alam ini meski ukurannya besar.[1].[]
[1] Badai’ush-shanai halaman 5 jilid 131
Sumber: Rumahfiqih.com