Oleh: Nurwahiddatur Rohman
rohman.man55@gmail.com
ARDI pulang sekolah dengan memegang lengan yang masih terasa nyeri. Melihat si Ayah yang kebetulan libur sedang duduk santai menikmati kicau burung-burungnya di beranda, si anak mendekat berniat untuk mengadu.
“Yah, lihat nih. Tadi Ardi dicubit sama Pak Danu,” keluh anak kelas enam SD itu sambil menyingsingkan lengan bajunya, terlihat bekas memar, membiru.
BACA JUGA: “Mungkin” Ini Penyebab Kita Kesulitan Dapatkan Hidayah
Si Ayah yang melihat lengan anaknya justru tertawa, “Hahaha, sini, Nak.”
Ardi justru bingung dengan sikap ayahnya, dengan wajah masih menahan nyeri dia duduk di sebelah pria berkumis tebal tersebut.
“Boleh ayah lihat lengannya tadi?”
Ardi menyingsingkan kembali lengan bajunya sembari meringis kesakitan.
“Sakit?”
Anak itu mengangguk.
“Kamu boleh membalasnya ke Ayah,” si Ayah menunjukan lengannya yang besar.
“Kenapa begitu, Yah? Kan Pak Danu yang nyubit Ardi?”
“Begini, Nak. Boleh Ayah tahu kenapa kamu dicubit?”
“Mmm…,” anak berseragam merah putih itu tertunduk.
“Bilanglah, Nak. Kenapa? Ayah janji tidak akan marah.” Melemparkan senyum ke wajah anakna.
“Ardi ribut di kelas, terus tidak mencatat apa yang disuruh oleh Pak Danu.”
Wajah si ayah menjadi sedih, hilang senyum yang ramah.
“Kenapa Ayah malah sedih?”
“Ayah merasa gagal, Nak…,” ujar ayah lalu berdiri, “Ayah menyekolahkanmu supaya kamu menjadi orang yang pintar, anak yang bisa menjadi lebih baik dari orangtuanya. Bukan malah mendapat cubitan dari guru karena kesalahanmu sendiri, terus mengadu berharap dapat pembelaan dari Ayah.”
Ayah duduk kembali di sebelah Ardi, “Kalau kamu tidak rela dicubit oleh gurumu, ini lengan ayah, cubit saja sesukamu.”
Anak itu menatap wajah ayahnya, ada rasa bersalah bersarang di hati Ardi, lidahnya tiba-tiba keluh, “Ayah….”
“Iya, ini kalau mau nyubit lengan Ayah, silakan.”
“Ardi minta maaf,” ujar anak itu langsung memeluk tubuh ayahnya, tidak terasa pipinya sudah basah.
“Sudah, Nak… jadikan semua itu pelajaran untukmu, ayah tidak mungkin membelamu, seorang lelaki harus berani bertanggungjawab, laki-laki tidak boleh lemah,” Ayah melepaskan dekapan itu. Memandang wajah anaknya, “Apa anak Ayah ini menangis?”
BACA JUGA: Teman Didekati, Ayah Dijauhi, Tanda Akhir Zaman
“Ng-ngga, kok,” ujar anak tersebut lalu mengusap pipinya yang basah.
Pria itu tersenyum, melihat wajah anaknya, “Nak, jangan pernah malu untuk menangisi sebuah kesalahan, itu pertanda hatimu masih berkerja dengan baik.”
“Ayah tidak marah?”
Si Ayah menggeleng, “satu lagi yang harus kamu ingat, guru itu orangtuamu di sekolah, mereka ayah dan ibumu di sana, kelak ketika dewasa kamu akan paham arti cubitan ini. Sudah masuk sana, ganti.”
Anak tersebut tersenyum, tidak lagi terasa nyeri di lengannya, ia bangkit meninggalkan ayahna di beranda. []