SERINGKALI ibu-ibu melarang anak lelakinya menangis, sehingga ajaran itu membekas dalam dirinya. Akibatnya, saat menghadapi masalah sesulit apa pun, seorang lelaki mengharamkan air mata sebagai pelampiasan. Kemudian pelampiasannya justru diarahkan pada kemarahan. Baginya marah ialah kewajaran bagi lelaki dalam melampiaskan kejengkelan.
Oleh sebab itu, jangan heran kalau kebanyakan lelaki suka marah-marah, sebab hal tersebut salah satunya diakibatkan pola didik yang kurang tepat. Apa salahnya lelaki menangis? Bukankah air mata juga milik lelaki dan diberikan dengan sengaja oleh Sang Maha Pencipta untuk menjadi penyadaran, bahwa sekuat-kuatnya manusia, tetap memiliki hati yang kadang tak mampu membahasakan kedalaman luka.
Bila anak lelaki menangis, biarkanlah menangis. Belailah rambutnya, sebab belaian yang tulus dari seorang Ibu jauh lebih baik daripada doktrin gerimis air mata tak boleh menderaskan tangis untuk menghalau mendung kesedihan dalam diri seorang lelaki. Hakikatnya, lelaki juga punya jiwa yang bisa tersayat dukacita. Sebab itu jalan terbaik untuk membijaksanakan hatinya ialah memberikannya penguatan sesungguhnya setiap ujian hidup sudah menjadi ketentuan dari Allah Subahanahu wa Ta’ala.
Demikian pula dalam hubungan berkasihsayang antara dua pencinta. Seorang lelaki jangan meremehkan kedahsyatan air mata untuk meleburkan amarah di dalam dada. Daripada menyakiti perempuan yang dicinta dengan kemarahan, lebih baik menangislah barangkali lewat air mata itu akan mendewasakan kehidupan. Percayalah, kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah, justru kemarahan akan menimbulkan masalah baru yang menyulitkan hubungan cintamu.
Bagi perempuan yang melihat lelakinya menangis, jangan menafsirnya sebagai kelemahan. Sungguh, lelaki memilih menderaskan hujan tangis jauh lebih baik daripada menghadirkan petir kemarahan akibat mendung kekecewaan memenuhi langit jiwanya. Saat perempuan mengetahui lelakinya menangis, datanglah dan genggam jemarinya dengan sepenuh cinta. Meski hanya diam namun itu sudah cukup membuat lelakimu menemukan kebahagiaan yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata. []
Arief Siddiq Razaan,