SETIAP Kamis pagi, saya ngojek nganterin istri ke majelis ilmunya. Dari lokasi sekolah anak, langsung ke situ, ada short cut yang cepet banget. Cuma ga mudah. Alias ngelawan arus dan nyebrang jalan kereta secara ilegal.
Jalan normal, saya butuh 15 menit untuk muter, lewat pusat kota. Jalan motong ini, cuma 2 menit.
Pertama kali motong jalan, istri saya ga ngomong apa-apa. Pekan berikut kedua kalinya, ia buka suara. “Duh…”
BACA JUGA:Â Aku Sudah Ga Mencintai Istriku Lagi …
Saya nyengir. Udah tau kemana arah “Duh…”-nya itu. “Timbang sebentar. Orang-orang juga maklum. Dan banyak juga yang ambil jalan pintas ini…” ujar saya membela diri.
Istri saya bergumam, “Bayangkan, kalau ada seratus orang yang berpikiran seperti ayah ini, berapa menit dan berapa banyak orang yang memaklumi laku salah…”
Saya diam juga akhirnya. Tapi kemudian menyela. “Oke, next time won’t happen again… It was the last, inshaAllah…”
“Bukan seberapa sebentarnya kita tidak menaati hal-hal yang disetujui banyak orang. Tapi efek kerusakannya yang ada dan akan menjadi kebiasaan. Ini baru hukum buatan manusia, lihatlah jalan itu semakin krodit karena dipenuhi oleh pemikiran seperti ayah barusan…:
Saya nyengir lagi, “Hehehe…” Terima salah. Demikianlah, jika bersalah dan diingetin, paling ahsan menerimanya dan jangan mengulangi lagi.
Saya ingat seorang teman saya, lebih dari 10 tahun lalu. Pedagang. Setiap Ahad pagi, berjualan di Situ Buled.
Waktu itu, Situ jadi pasar kaget sekaligus CFD di kota kami yang kecil. Seusai Shubuh, ia melaju membawa barang jualannya menggunakan motor. Karena jaraknya dekat, sekitar 5 menit, ia memang tidak pernah mengenakan helm.
BACA JUGA:Â Shalat Shubuh
Pagi itu, motornya terhantam satu mobil pick up. Terjadi sesuatu pada kepalanya. Sebagian orang berkata, “Coba kenakan helm,…” Beliau pun berpulang.
Usia, Allah yang mengatur. Namun kita diberi peluang untuk terus memperbaiki dan menjaga diri. Kata Nabi, tawakkal itu setelah engkau mengikat erat untamu, sehingga dia tidak lepas. Allahu alam. []