ADA banyak riwayat yang menunjukkan begitu komitmennya Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) berpegang teguh pada Sunnah Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut di antaranya, yang semuanya saya ambil dari kitab Siyar A’laam an-Nubalaa karya Imam adz-Dzahabi (w. 748 H):
1. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata, saya mendengar ayah saya berkata, bahwa asy-Syafi’i berkata:
أنتم أعلم بالأخبار الصحاح منا، فإذا كان خبر صحيح، فأعلمني حتى أذهب إليه، كوفيا كان، أو بصريا، أو شاميا
Artinya: “Anda (Ahmad ibn Hanbal) lebih mengetahui khabar-khabar yang shahih dibanding saya. Jika ada khabar shahih, maka beritahulah saya, sehingga saya bisa mengikutinya, baik ia khabar dari orang Kufah, Bashrah, ataupun Syam.”
BACA JUGA: Rahasia Kuatnya Hafalan Imam Syafi’i
2. Harmalah berkata, asy-Syafi’i berkata:
كل ما قلته فكان من رسول الله صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا تقلدوني
Artinya: “Setiap yang saya katakan, jika terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka hadits shahih itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”
3. Ar-Rabi’ berkata, saya mendengar asy-Syafi’i berkata:
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بها، ودعوا ما قلته
Artinya: “Jika kalian menemukan dalam kitabku ada pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah sesuai sunnah tersebut, dan tinggalkanlah perkataanku.”
4. Ar-Rabi’ berkata, saya mendengar asy-Syafi’i berkata:
أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني إذا رويت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثا فلم أقل به
Artinya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan membawaku, jika aku meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun aku tidak berhujjah dengannya.”
5. Abu Tsaur berkata, saya mendengar asy-Syafi’i berkata:
كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي، وإن لم تسمعوه مني
Artinya: “Setiap ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tak pernah mendengarnya dariku.”
6. Diriwayatkan juga bahwa asy-Syafi’i berkata:
إذا صح الحديث فهو مذهبي ، وإذا صح الحديث، فاضربوا بقولي الحائط
Artinya: “jika ada satu hadits shahih, maka itu adalah madzhabku. Dan jika ada satu hadits shahih (bertentangan dengan pendapatku), maka lemparkanlah pendapatku ke dinding.”
7. Ar-Rabi’ berkata, saya mendengar asy-Syafi’i berkata, setelah seorang laki-laki berkata kepada beliau, ‘Apakah Anda mengambil hadits ini wahai Abu ‘Abdillah (asy-Syafi’i)?’:
متى رويت عن رسول الله حديثا صحيحا، ولم آخذ به فأشهدكم أن عقلي قد ذهب
Artinya: “Kapanpun aku meriwayatkan sebuah hadits shahih dari Rasulullah, dan aku tidak mengambilnya, maka aku jadikan kalian sebagai saksi bahwa sesungguhnya akalku telah hilang.”
8. al-Humaidi berkata, pada suatu hari asy-Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits, kemudian aku bertanya kepada beliau, ‘Apakah Anda mengambilnya?’, kemudian asy-Syafi’i menjawab:
رأيتني خرجت من كنيسة، أو علي زنار حتى إذا سمعت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثا لا أقول به
Artinya: “Apakah engkau melihatku keluar dari gereja, atau aku memakai ikat pinggang (pakaian khas ahli kitab), hingga aku mendengar satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku tidak mengambilnya?”
BACA JUGA: Lima Rumus Kehidupan dari Imam Syafi’i
*****
Pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah di atas menunjukkan komitmen beliau terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehebat apapun asy-Syafi’i, manusia –termasuk asy-Syafi’i sendiri– tetap harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan mengikuti asy-Syafi’i.
Pernyataan di atas juga menunjukkan tawadhu’nya imam asy-Syafi’i. Sebagai seorang yang sangat ‘alim, faqih dan ahli hadits, seandainya beliau mau, tentu beliau bisa mencukupkan diri dengan pendapatnya saja, tanpa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Namun, asy-Syafi’i bukan orang yang seperti itu, beliau tetap meminta imam Ahmad dan yang lainnya mengingatkan sekaligus mengoreksi jika pendapat beliau tidak sesuai dengan yang ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, dengan tegas beliau meminta orang lain untuk meninggalkan pendapat beliau jika bertentangan dengan sunnah.
Bandingkan sifat tawadhu’ ini dengan sifat sebagian anak muda muslim saat ini, yang ilmunya tidak sampai sepersepuluhnya ilmu asy-Syafi’I, namun lagaknya sudah seperti mujtahid mutlak, begitu gampangnya menyalahkan, membid’ahkan bahkan menyesatkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Dengan mengusung slogan kembali ke al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai manhaj salafush shalih, mereka dengan ‘beringasnya’ menuduh semua pihak yang pendapatnya berbeda dengan kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Inikah ketawadhu’an salaful ummah yang mereka ikuti?
Web: Abufurqan.net
Facebook: Muhammad Abduh Negara