Oleh: Arkandini Leo
BUKAN anak-anak namanya, kalau tidak selalu memancing emosi hati dengan seabrek kebiasaan buruknya. Susah di suruh tidur siang dan makan sayur, baca sambil tiduran atau jajan sembarangan. Sudah sekian kali diingatkan, sudah berbusa-busa diberi wejangan tapi hasilnya masih nihil. Saran saya jangan lekas terpancing emosi. Sebenarnya ada cara yang lebih indah daripada kita terperangkap lelah karena marah. Mari kita belajar dari pengalaman kita sewaktu kecil. Dahulu sewaktu kecil, saya tidak doyan sayur dan buah. Akibatnya saya susah buang air besar sampai dibawa ibu ke dokter.
Sesampai di sana, ibu meminta dokter agar menasihati saya. Kata ibu, “Tolong dinasihati anaknya Dok. Kalau dokter yang menasihati pasti lebih diperhatikan.” Lalu dokter menasihati saya. Ia menganjurkan saya agar mau makan sayur dan buah. Ia juga menjelaskan mekanisme tubuh secara sederhana. Karena yang menjelaskan adalah dokter dan disertai penjelasan ilmiah, saya menjadi percaya. Semenjak itu, saya berusaha menyukai sayur dan buah. Dampak positifnya kemudian, hal itu lalu berbuah menjadi kebiasaan, saya jadi suka sayur dan buah betulan.
BACA JUGA: Labeling pada Anak, Hati-hati!
Kini saya semakin yakin betapa perlunya penjelasan ilmiah. Seperti juga yang terjadi pada sepupu saya. Ia senang sekali beli jajanan keliling. Kalau mendengar suara abang-abang yang jualan keliling, dia selalu merengek-rengek untuk minta dibelikan. Kalau tidak dikabulkan, tak jarang ia menangis sampai guling-guling badan. Semua wejangan dan bujuk rayu dari keluarga tidak diindahkannya.
Kebetulan pada hari itu kita sedang melihat acara reality show yang menyelidiki betapa bahayanya jajan sembarangan. Dari zat pewarnanya, cara memasak sampai pada komposisi bahan makanannya. Sepupu kecil saya bahkan sempat berseloroh, “Wah, ternyata menjijikkan ya jajanan-jajanan itu.” Saat itu efeknya langsung terasa. Ketika si penjual es mulai membunyikan loncengnya untuk memanggil para penggemarnya. Ia tidak merengek minta dibelikan tapi dengan penuh kesadaran ia bilang, “Makanan itu menjijikan, saya tidak mau beli.”
Sebenarnya acara reality show yang kami lihat tidak hanya menyadarkan sepupu saya. Acara itu juga sempat menginsyafkan diri saya juga. Begini ceritanya. Saya termasuk penggemar roti bakar yang dijual eceran di depan SD seharga Rp. 1.000 tiap potongnya. Enak dan murah meriah. Eh, ternyata acara reality show tersebut juga mengupas betapa bahayanya selai yang dipakai untuk mengisi roti. Karena saya tahu selainya berbahaya, saya jadi insaf. Semenjak itu kalau beli roti bakar saya tidak mau di isi dengan selai. Saya ganti, beli yang rasa meses saja. Nanti kalau acara reality show itu mengupas bahaya meses murahan, mungkin saya akan taubat nasuha berhenti beli roti bakar.
Logikanya begini, penjelasan ilimiah itu cukup mempan menginsyafkan saya yang sudah dewasa. Dan saya yakin hal ini akan lebih mempan lagi jika ditujukkan pada anak-anak yang masih lugu. Menghadirkan penjelasan dan narasumber yang terpercaya itu sangatlah penting. Selain membuat anak semakin percaya, di saat itu kita juga sedang mendidik agar memiliki pola pikir yang logis. Dan juga melatih anak untuk mengolah dan mengkaji informasi secara akurat. Nantinya hal ini akan menjadi suatu bekal yang penting ketika mereka dewasa.
Jika anak kita sudah memiliki karakter ilmiah, maka kita tidak akan perlu khawatir lagi dengan mitos-mitos kuno yang akan menggelincirkan akidahnya dan melemahkan daya pikirnya. Mereka tidak akan berdoa saat ada bintang jatuh, mereka tidak akan make a wish sebelum meniup lilin ulang tahun. Atau melakukan tindakan bodoh seperti yang saya lakukan dulu. Semisal harus menjilat-jilat jari telunjuk setelah menuding kuburan karena kalau jarinya tidak dijilat takut kualat, atau melempar sekuat mungkin gigi susu yang copot di atas genteng. Agar gigi si penggantinya dapat tumbuh dengan baik.
Jika malaikat-malaikat kecil kita sudah mempunyai karakter ilmiah, nanti ketika remaja mereka juga tidak akan mudah termakan gosip, hasutan dan menjadi korban trend ikut-ikutan. Karena mereka sudah terdidik untuk berpikir kritis.
BACA JUGA: Mau Punya Anak Pintar dan sholeh? Ini Doanya
Di sinilah peranan kita. Agar tidak malas memberikan penjelasan ilmiah. Agar kita selalu telaten memacunya untuk mengkaji informasi. Termasuk melawan rasa malas kita karena tidak mau repot mengantarkan mereka ke perpustakaan, memperlihatkan sumber buku, menemaninya browsing di internet atau mempertemukan dengan ahlinya.
Semoga Allah memberi kita kesabaran dan keteguhan hati atas segala amanah yang dititipkannya. Sehingga dengan kesabaran itulah akan terlahir para penemu, peneliti dan kontributor dunia.
Semoga dengan kesabaran itulah kita dapat menjerang jariyah kita, meski badan telah berkalang tanah. Aamiin. []