Oleh: Deddy Sussantho
SEORANG kawan bertutur, “Setiap orang memiliki titik jenuh”. Alih-alih mengomentari, saya malah curhat begini.
Waktu di SMA, begini-begini saya jurusan IPA lho! (terus?). Di IPA, saya belajar Kimia… (terus?). Di Kimia, saya pernah belajar tentang larutan jenuh dan larutan tak jenuh. (terus?)
Suatu larutan dikatakan jenuh, manakala solute (zat terlarut) lebih besar daripada solvent (zat pelarut). Contoh, mau bikin kopi tapi jumlah kopinya lebih banyak daripada air, itu artinya kondisinya jenuh.
Sekarang begini. Bayangkan bila gelas yang berisi kopi lebih banyak itu mau kita encerkan, bagaimana caranya? Tentu bukan membuang isinya. Karena dengan membuang isinya, tidak akan mengurangi kejenuhan larutan, melainkan hanya mengurangi volumenya. Lalu bagaimana cara mengencerkannya? Tentu dengan menambahkan zat pelarut (air) ke gelas tersebut.
Nah, dari fenomena Kimia ini, mari kita ambil ibrohnya.
- Setiap aktivitas akan mencapai titik jenuh manakala dilakukan secara padat.
- Mengatasi kepadatan dan kejenuhan aktivitas bukanlah dengan meninggalkan beberapa amanah atau kewajiban, karena itu tidak akan mengurangi kejenuhan, malah akan menambah masalah baru yang bakal bikin kita semakin jenuh (pusing + stress + hopeless + galau).
- Cara tepat mengatasi kejenuhan adalah dengan menambahkan kegiatan lain yang mampu melarutkan suasana padat tersebut. Contohnya rihlah (jalan-jalan), silaturahim ke orang-orang yang bikin semangat, menemukan hal-hal lucu, menyibukkan diri dengan baca qur’an (sampai lupa jenuhnya), tafakkur alam, dan lain sebagainya.
Inilah yang disebut menyiasati diri untuk tetap asik. []