SEBENARNYA, pernyataan “fulan bukan ulama” itu bukan penghinaan bagi si fulan, tapi sekadar mendudukkan seseorang sesuai pada tempatnya. Hanya saja, menjadi rumit dan ‘debatable’, karena persepsi kita terhadap siapa yang layak disebut ulama itu, berbeda-beda.
Ada yang membuat syarat yang sangat tinggi, sampai-sampai dengan syarat tersebut, jumlah ulama di muka bumi ini bisa dihitung dengan jari. Ada yang pakai standar sangat rendah, sampai-sampai semua yang pakai peci dan ngomong ‘ane’ ‘ente’ disebut sebagai ulama.
BACA JUGA: Hukum Menggugurkan Kandungan Menurut Ulama
Mungkin, akan lebih objektif, jika langsung menyebut bidang kepakaran, karena istilah ulama sejak dulu selalu menunjuk pada pakar di satu atau beberapa bidang ilmu syar’i. Jadi, dari pada menggunakan istilah ulama, lebih baik kita memakai istilah “ahli fiqih”, “pakar nahwu”, “mufassir”, dan lain-lain.
Tapi ternyata masalahnya tetap tidak selesai. Lagi-lagi, karena kita tidak punya standar baku yang diterima oleh semua orang, untuk istilah-istilah tersebut.
Sebagai contoh, siapa yang layak disebut sebagai ahli fiqih? Apakah harus seorang mujtahid sebagaimana dipahami oleh banyak ulama terdahulu? Atau paling tidak, ia menguasai satu madzhab dengan baik dan diizinkan berfatwa dalam madzhab tersebut? Atau, atau, atau…? Atau jangan-jangan, ustadz yang menyatakan rukun wudhu hanya 2, sudah layak disebut ahli fiqih?
Siapa yang layak disebut pakar nahwu? Jangan-jangan, bagi sebagian orang, yang mampu memahami “Al-Muyassar Fi ‘Ilmin Nahwi jilid 1” sudah dianggap pakar nahwu. Tapi bagi sebagian yang lain, syaratnya adalah hafal Alfiyah Ibnu Malik bolak-balik. Bagi yang lain lagi, mungkin yang bisa mengulik karya-karya Sibawaih.
Siapa yang Layak Disebut Ulama
Apakah Ph.D di bidang Hadits otomatis layak disebut muhaddits? Atau yang menghabiskan umurnya di perpustakaan, yang layak disebut muhaddits? Atau yang punya banyak sanad Hadits, meski dirayahnya lemah, layak disebut muhaddits? Atau jangan-jangan, yang sanadnya sampai ke mimpi, yang benar-benar muhaddits?
Ukuran keilmuan -khususnya ilmu syar’i- di zaman ini, tidak bisa diukur dari gelar formal, karena -sebagai contoh- banyak sekali doktor syariah yang bahkan tidak paham satu pun madzhab fiqih dengan baik.
Dan tentu juga, tidak bisa dilihat sebaliknya, karena banyak yang tak punya gelar formal, dan memang tidak ada ilmunya. Dari kemasyhuran? Masyhur menurut siapa dulu? Satu juta orang awam yang bersaksi atas keilmuan seseorang, tidak ada nilainya sama sekali, nol besar.
BACA JUGA: Manusia Jika Tanpa Ulama
Dan uniknya, kadang keilmuan itu diukur dari afiliasi. Dua orang yang sama-sama banyak mendapatkan faidah dari buku dan literatur, yang satu, karena dari afiliasi yang sama, diakui keilmuannya, disebut al-‘allamah, sedangkan yang satu lagi, disebut shahafi, otodidak, tidak bersanad, tukang jam, dan lain-lain.
Ada ustadz, meski tidak menempuh jalur kesantrian pada umumnya, namun karena tulisannya banyak sesuai dengan afiliasi mereka, dipuji-puji dan dianggap berilmu, futuh, dapat ilmu laduni, dll. Ustadz lain, malah dituduh sebagai ‘ustadz gadungan’, sok berani berfatwa, dan sanadnya sampai ke google. Jadi bagaimana? []
Oleh: Muhammad Abduh Negara