HARI ini, praktik leasing sudah sangat lumrah ditemukan dalam berbagai kegiatan ekonomi. Umumnya, orang-orang menggunakan leasing untuk membeli motor dan mobil tanpa perlu langsung mengeluarkan uang puluhan juta. Perusahaan-perusahaan leasing juga sudah menjamur di mana-mana, bahkan untuk aset-aset yang hanya bernilai jutaan rupiah.
Sejalan dengan berkembangnya leasing, pertanyaan terkait transaksi tersebut juga menjadi topik yang cukup ramai dibicarakan oleh para pemuka dan akademisi agama Islam.
Mereka mengkaji apakah praktik leasing adalah hal yang dibenarkan dalam fiqh Islam serta bebas dari praktik riba.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada dua variabel terpenting yang perlu diperhatikan, yakni:
1. Jenis leasing yang ingin dihukumi.
2. Jenis transaksi yang terjadi antara para pelaku transaksi.
1. Jenis Leasing yang Ingin Dihukumi
Leasing pada dasarnya adalah kegiatan sewa-menyewa namun dengan tujuan dan mekanisme yang beragam. Secara garis besar, leasing terbagi menjadi dua jenis, yakni:
1. Leasing keuangan (financial leasing).
2. Leasing operasional.
Kedua jenis leasing ini sama-sama berupa kegiatan sewa-menyewa, namun berbeda pada konsepnya. Leasing keuangan adalah kegiatan sewa-menyewa dengan janji kepemilikan di akhir ketika cicilan sudah lunas, sedangkan leasing operasional tidak ada janji kepemilikan di akhir dan cenderung seperti sewa-menyewa biasa. Leasing keuangan adalah topik yang akan dibahas pada tulisan ini.
2. Jenis Transaksi Leasing Keuangan antara Para Pelaku Transaksi
Leasing keuangan pada kredit motor dan mobil adalah leasing yang paling banyak dipraktikkan di zaman sekarang. Secara singkat, leasing ini melibatkan tiga pihak, yakni:
1. Dealer (penjual motor/mobil).
2. Perusahaan leasing.
3. Pembeli (konsumen).
BACA JUGA: Mulai dari Zina sampai Riba, Inilah 5 Larangan Allah yang Wajib Diketahui dan Dihindari!
Hal-hal yang perlu diketahui ketika menganalisis transaksi ganda seperti ini adalah jenis transaksi yang dilakukan oleh:
1. Perusahaan leasing dengan dealer.
2. Perusahaan leasing dengan konsumen.
3. Dealer dengan konsumen.
Berikut penjabarannya:
a. Transaksi yang Dilakukan Perusahaan Leasing dengan Dealer
Transaksi antara perusahaan leasing dengan dealer secara sederhana dan konseptual adalah jual beli biasa karena memenuhi sebagian besar rukun jual beli, yakni barang, dua pelaku transaksi, dan bayaran. Adapun sighat dapat diwakili oleh dokumen pesanan dan seterusnya.
Namun adalah sebuah kecacatan bahwa mekanisme pesanan leasing ke dealer yang didahului kesepakatan antara ketiga pihak untuk “pembiayaan atas pembelian” serta persyaratan pencairan dana yang mengharuskan penyerahan barang terlebih dahulu dalam keadaan “sehat” kepada konsumen (biasanya tercantum dalam surat pesanan).
Transaksi antara perusahaan leasing dan dealer sejatinya adalah jual beli biasa yang didahului oleh rangkaian kesepakatan antara ketiga pihak (dealer, perusahaan leasing, dan konsumen), meskipun dalam praktiknya banyak kejanggalan yang dapat merusak akad.
b. Transaksi antara Perusahaan Leasing dengan Konsumen
Masalah terbesar dari transaksi tiga pihak ini adalah pada transaksi perusahaan leasing dengan konsumen karena mereka melakukan transaksi pada barang yang bahkan belum dibeli (motor atau mobil). Meskipun dalam surat menyuratnya sighat yang tercantum adalah “pembiayaan pembelian motor,” secara praktikal dan konseptual, transaksi ini lebih cenderung ke arah sewa-menyewa barang yang diakhiri dengan kepemilikan.
Transaksi seperti ini pada dasarnya boleh, namun sighat yang tidak jelas membuat akadnya menjadi cacat dan rusak. Selain itu, transaksi yang dilakukan pada barang yang belum dibeli tentu akan bermasalah dalam hukum akadnya.
c. Transaksi antara Dealer dan Konsumen
Transaksi antara dealer dan konsumen sejatinya tidak dapat dikategorikan sebagai transaksi karena tidak melibatkan bayaran sama sekali, meskipun penyerahan barang dan bukti kepemilikan diberikan atas nama konsumen.
Maka, dapat dipahami bahwa transaksi tiga pihak ini sejatinya adalah dua transaksi yang dihubungkan dalam kesepakatan-kesepakatan, yang dalam aturan fiqh dianggap merusak keabsahan akad sehingga dapat bermasalah dalam hukum dunianya.
BACA JUGA: Hati-hati, Ini 5 Jenis Riba yang Jarang Disadari Muslim
Ada dua faktor terbesar yang membuat transaksi tiga pihak ini rusak, yakni:
1. Transaksi antara perusahaan leasing dan konsumen dilakukan sebelum pembelian barang.
2. Sighat “pembiayaan pembelian” antara perusahaan leasing dan konsumen tidak jelas secara hukum fiqh.
Adapun dugaan bahwa transaksi tiga pihak (leasing, dealer, dan konsumen) mengandung unsur riba adalah dugaan yang keliru karena “bunga,” yang sering menjadi istilah dalam menentukan keribaan transaksi, hanya berlaku pada transaksi utang-piutang secara langsung, bukan pada transaksi yang melibatkan barang (jual beli atau sewa-menyewa) seperti dalam kasus transaksi “pembiayaan” ini.
Transaksi “pembiayaan” ini bermasalah hanya dari segi keabsahan akadnya saja. Dalam bahasa sederhana, akad “pembiayaan” adalah akad yang lemah secara hukum, namun tetap bebas dari unsur riba. Wallahu a’lam. []
Muslim adalah seorang mahasantri di Ma’had Aly Lathifiyyah yang memiliki minat besar dalam dunia literasi. Lahir di Pagatan pada 31 Desember 2003, ia menghabiskan waktu luangnya dengan menulis dan membaca buku. Dengan kecintaannya pada pengetahuan, Muslim bercita-cita menjadi seorang penulis yang mampu memberikan inspirasi dan wawasan melalui tulisannya. | Instagram: @ae_mineeee
_____
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter. Sertakan foto diri, Kartu Tanda Identitas (KTP/KTP/SIM), akun media sosial (IG, Facebook, atau Tiktok), dan imel.