PADA 6 hingga 10 Maret 2023 anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menghadiri undangan dari National Diet Members Caucus for Support on Developmental Disorder of Japan, untuk berdiskusi dan mengkaji bersama terkait kebijakan dan tatalaksana bagi para penyandang gangguan perkembangan (developmental disorder) di kedua negara.
“Bersama beberapa rekan dari DPR RI kami menghadiri undangan dari Kaukus Parlemen Jepang dan secara aktif berdiskusi dengan beberapa Kementerian di sini, baik Kementerian Kesehatan, Sosial dan Ketenagakerjaan, juga Kementerian Pendidikan dan Olahraga.”
Dari hasil diskusi tersebut, ujar Ledia Hanifa, kita banyak belajar terutama dari persoalan mendasar terkait ketersedian data terpilah yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia.
BACA JUGA: 4 Publik Figur Muslim di Jepang
Kementerian Pendidikan Jepang, lanjut Ledia Hanifa, memiliki data terpilah berkaitan dengan ragam disabilitas, data pribadi, kondisi dan kebutuhan yang diperlukan bagi para peserta didik termasuk bagi para penyandang developmental disorder. Mereka juga difasilitasi sekolah khusus mulai dari tingkat SD sampai SMA, semacam SLB di Indonesia, dengan biaya ditanggung bersama antara Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat.
“Alhamdulillah Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas no 8 Tahun 2016 yang menguraikan ragam disabilitas berikut hak-hak mereka. Sayangnya, implementasi bagi pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas ini masih memiliki berbagai kendala. Persoalan data terpilah salah satunya,” paparnya kepada Islampos, lewat rilisnya.
“Data mengenai berapa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saja kalau kita melihat dari beberapa Kementerian/Lembaga sangat beragam. Apalagi bila kita ingin mengetahui jumlah penyandang disabilitas berdasarkan ragamnya, usia, wilayah tinggal, tingkat pendidikan, kondisi mereka bagaimana, kebutuhannya apa saja, dan data-data detil lainnya, belum ada ini,” ungkap Ledia prihatin.
Ketiadaan data terpilah bagi para penyandang disabilitas ini menjadi salah satu faktor penghambat terpenuhinya hak semisal hak pendidikan. Apalagi, bagi anak usia sekolah penyandang gangguan perkembangan, banyak yang tidak tercatat khusus karena kadang tidak nampak memiliki perbedaan secara fisik.
Padahal developmental disorder itu sendiri adalah bagian dari keragaman disabilitas yang lebih mengarah pada disabilitas mental dan intelektual, termasuk di dalamnya para penyandang autisme, sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif (PDD), ketidakmampuan/gangguan belajar (LD), gangguan perhatian-hiperaktivitas (ADHD) serta disfungsi serebral serupa lainnya.
“Ketiadaan data terpilah akan menyebabkan setiap anak didik penyandang disabilitas tidak secara jelas diketahui kondisi dan kebutuhannya seperti apa sehingga treatment atau penanganan yang kemudian diberikan kepada mereka juga seringkali tidak optimal. Guru pun kadang menyamaratakan saja perlakuan pada mereka, karena ketidaktahuan, keterbatasan pelatihan atau ketidaklengkapan informasi. Padahal siswa dengan gangguan perkembangan ini apabila masuk sekolah inklusi misalnya lalu mendapat penanganan yang salah atau tidak tepat maka kondisinya akan memburuk dan akan cukup fatal akibatnya pada kehidupan mereka kelak di kemudian hari,” ungkap Ledia Hanifa.
Karena itulah maka Sekretaris Fraksi PKS ini mengingatkan Pemerintah untuk sesegera mungkin menghadirkan data terpilah bagi para penyandang disabilitas ini lewat satu pintu Kementerian atau Lembaga yang bisa menjadi pegangan secara nasional.
“Jadi yang paling mendasar saat ini kita memerlukan ketersediaan data terpilah bagi penyandang disabilitas baik bagi sekolah, kampus mapun tempat pekerjaan. Ini juga merupakan kesempatan bagi kita untuk mengubah paradigma dari charity based ke right based seraya memberikan penanganan yang sesuai dengan hak mereka sebagai penyandang disabilitas agar kelak para penyandang disabilitas ini bisa lebih mandiri,” tutup Ledia Hanifa. []