Oleh: Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Apa jadinya hidup kita tanpa air? Tidak mungkin kita bisa bertahan hidup, bukan? Maka air menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Air yang bersih, jernih dan mengalir terus adalah sesuatu yang sangat bermanfaat.
BJ Habibie, misalnya, mengenang bagaimana almarhum bapaknya berpesan agar dia menjadi mata air bagi sekelilingnya. Kalau mata air itu bersih dan jernih maka dia akan menghidupi banyak orang, tetumbuhan dan juga hewan. Sebaliknya kalau mata air itu tercemar maka efek jeleknya juga bisa terus mengalir kemana-mana.
Namun mengapa sesuatu yang sangat dibutuhkan itu kurang diapresiasi keberadaannya? Seolah air itu menjadi sesuatu yang tak berharga. Air ada dimana-mana sehingga harganya menjadi murah. Ini berbeda dengan emas. Harganya mahal padahal tanpa emas pun kita bisa tetap hidup. Emas menjadi mahal karena orang sukar mendapatkannya dari mulai menyaring dan mendulang emas, membakarnya, sampai kemudian membentuknya menjadi perhiasan. Semakin dicari, semakin mahal harga emas.
Saat ini menjadi mata air saja tidak lagi cukup. BJ Habibie mampu mengubah dirinya dari air menjadi emas. Saat bangsa ini masih hidup susah, Habibie sudah membayangkan untuk membuat pesawat terbang. Dia telah memikirlan hal-hal yang tak terpikirkan. Orang lain masih memikirkan isi perut, tapi dia sudah memikirkan bagaimana menyambungkan satu pulau dengan pulau lainnya lewat pesawat terbang. Ilmunya menjadi sangat dibutuhkan. Untuk mengubah diri dari air menjadi emas kita harus memiliki ‘comparative advantage’. Kita tidak bisa mengikuti orang-orang yang berjalan di arus utama (mainstream). Harus ada hal yang unik dan berbeda yang kita lakukan sehingga apa yang kita hasilkan menjadi lebih murah biayanya tapi lebih efisien hasilnya. Ini artinya kita membutuhkan visi, strategi dan lompatan dalam hidup.
Orang pandai itu banyak. Tapi keberadaan mereka sama dengan air yang ada dimana-mana dan karenanya dibutuhkan tapi tidak dicari; diperlukan tapi tidak dihargai. Orang pandai yang strategis akan tahu memilih bidang kajian yang menjadi emas pada saatnya kelak, ia akan siap melewati proses penyaringan dari biji emas, untuk kemudian dibakar dengan berbagai problem kehidupan, lantas dibentuk dalam berbagai peran hingga bernilai mahal bagaikan emas perhiasan.
Banyak orang pandai yang hidupnya biasa-biasa saja, monoton dan rutin belaka. Tentu hidup mereka bermanfaat bagi sesama. Namun kalau anda tidak mau hanya sekedar biasa-biasa saja, tapi ingin hidup anda menjadi luar biasa, maka mulailah mengatur ulang strategi hidup anda: kadang kala harus mengambil langkah mundur ke belakang, atau bergerak ke sampimg sebelum maju ke depan. Seringkali pula kita harus melakukan pengorbanan untuk hidup yang jungkir balik. Tapi semua dilakukan secara strategis, bukan sporadis.
Saat saya mengambil dua program sarjana, dua program master dan dua program PhD yang berbeda (hukum umum dan ilmu Syari’ah) yang semuanya dilakukan secara bersamaan, saya sudah berpikir secara strategis bahwa kelak akan dibutuhkan pakar yang mengerti kedua bidang tersebut. Tentu saja banyak kawan yang jauh lebih pandai dari saya di bidang hukum umum, begitu juga di bidang hukum Islam, tapi yang menggabungkan kedua bidang tersebut tidaklah banyak.
Saya ingat betul pesan Abah saya, “Abah ini khadimul fiqh (pelayan fiqh) karena Abah cuma tahu ilmu fiqh. Kamu harus jadi khadimul ‘ilmi dan tidak hanya menguasai fiqh”. Itu sebabnya saya kuliah pagi di Fakultas Syariah dan kuliah sore di Fakultas Hukum. Bahkan saat mengambil program PhD saya mengerjakannya di dua negara berbeda (Australia dan Singapore). Ini mirip cerita kawan saya orang madura bahwa Kiai-nya bisa shalat di Mekkah dan di kampungnya dalam waktu bersamaan. Gak ada yang mustahil kan 🙂
Ketika hendak berkarir di Australia, saya sengaja memilih untuk mengajar di Fakultas Hukum, ketimbang di Departemen Asian Studies atau Islamic Studies. Fakultas Hukum di kampus Australia jauh lebih sukar dimasuki karena lebih bergengsi. Namun saya secara strategis memilih jalur yang sukar ini karena observasi saya menunjukkan bahwa pakar hukum Islam di Australia masih dalam hitungan jari. Tidak mudah pakar hukum Islam menembusnya karena mereka dituntut untuk juga bisa mengajar hukum umum.
Di sinilah apa yang saya usahakan sejak s1, s2, s3 sampai postdoc berhasil membuat saya memiliki ‘comparative advantage’. Saya mengubah potensi diri saya dari air menjadi emas. Maka jadilah saya saat ini satu-satunya orang kelahiran Indonesia yang menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum di Australia. Banyak kawan lain yang hendak mengajar di sini terpaksa pulang karena mereka berada pada area Asian Studies dan/atau Islamic Studies dimana kajian Indonesia sudah banyak pakarnya. Dengan kata lain, sudah terlalu banyak air di sana. Anda harus menjadi emas untuk dilirik dan direkrut.
Jadi, jangan protes kalau orang lain yang anda anggap kurang pandai tapi dia justru lebih dicari dan dihargai. Mungkin dia mampu menjadi emas sementara anda tetap menjadi air. Tidak perlu pula anda sibuk mencari-cari kelemahannya atau mengumbar cerita dusta tentangnya. Dimanapun dia berada, emas akan tetap emas, seperti air tetaplah menjadi air.
Ketimbang anda terus hasud kepada mereka yang memiliki ‘comparative advantage’, mari yuk kita sama-sama berdoa:
Tuhan,
Jadikan kami seperti air yang jernih
Yang bermanfaat bagi sesama
Jadikan pula kami seperti emas yang bersinar
Yang dicari dan dihargai semesta []