DIALAH Abdullah bin Umar bin Syuraih. Karena ia buta sejak lahir, orang-orang memanggilnya Abdullah bin Umi Maktum. Ia tergolong sebagai pemeluk Islam golongan pertama. Abdullah turut menanggung siksaan dan penganiayaan dari kaum Quraisy. Namun, kekuatan imannya serta kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih agung sehingga ia tidak pernah menyerah sekalipun siksaan kaum Quraisy kepadanya begitu sadis.
Di balik kebutaannya, Abdullah tetap rajin memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu tentang Islam. Bahkan sekalipun ia buta, ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah di Masjid.
Hingga tiba pada suatu waktu, Abdullah datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. la ingin meminta izin pada beliau untuk tidak menghadiri jamaah shalat Subuh lantaran tidak ada yang menuntunnya ke masjid. “Wahai Rasulullah, bolehkah aku meminta keringanan untuk tidak mengikuti jamaah shalat Subuh?” tanyanya.
BACA JUGA: Ingkar Janji adalah Sifat Iblis
“Apakah engkau mendengar azan?” tanya Rasulullah balik.
“Ya.”
“Jika begitu, tidak ada alasan bagimu untuk meninggalkan shalat jamaah.”
Abdullah tidak berkomentar apapun. Ia menurut atas apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Bahkan la berjanji dalam hati untuk istiqamah datang ke masjid untuk berjamaah shalat Subuh.
Selang beberapa saat berjalan, Abdullah tersandung batu. Ia jatuh tersungkur dan kepalanya kena batu. Darah pun mengalir. Abdullah segera mengusapnya dan berjalan kembali. Rasa perih akibat luka bukanlah penghalang baginya untuk ikut shalat berjamaah. “Hai, Paman, engkau hendak ke mana?” tiba-tiba seseorang menyapanya.
“Aku hendak ke masjid,” jawab Abdullah.
“Maukah engkau aku antar, Paman? Aku akan menungguimu dan mengantarmu pulang nanti.”
“Terima kasih. Engkau baik sekali,” jawab Abdullah senang.
Ia bersyukur karena Allah it mengirimkan penolong baginya. Ternyata, bukan hari itu saja orang itu menolong Abdullah. Setiap hari ia selalu datang untuk menuntun Abdullah menuju masjid. Ia menunggui Abdullah dengan sabar hingga selesai shalat, lalu menuntunnya pulang.
Abdullah sangat gembira karena ada seorang lelaki budiman yang bermurah hati menolongnya tanpa imbalan. Namun anehnya, laki-laki itu tidak pernah memberitahukan siapa namanya. Setiap kali Abdullah bertanya, ia selalu mengelak. Hingga pada suatu hari, Abdullah benar-benar ingin tahu siapakah laki-laki baik hati yang telah menolongnya.
“Siapakah namamu, wahai Fulan?” tanya Abdullah.
“Paman tidak perlu tahu namaku,” jawabnya.
“Jika begitu, jangan menolongku lagi. Aku tidak mau ditolong oleh orang yang tidak aku ketahui namanya,” kata Abdullah.
Mendengar jawaban Abdullah, orang itu tampak bingung. la ingin menuntun Abdullah setiap hari.
“Baiklah, aku katakan siapa aku. Sebenarnya aku adalah iblis,” sahut lelaki itu.
“Untuk apa engkau menolongku? Bukankah pekerjaanmu adalah menghalangi kebaikan?” tanya Abdullah.
“Masih ingatkah engkau saat pergi ke masjid lalu engkau tersandung batu dan berdarah?” tanya iblis.
BACA JUGA: Yang Lebih Buruk daripada Iblis dan Firaun
“Ya, aku masih ingat,” jawab Abdullah.
“Aku mendengar malaikat mengatakan bahwa separuh dosamu telah diampuni karenanya. Aku tidak mau engkau terjatuh lagi hingga habislah dosamu diampuni semuanya.” Abdullah terkejut. Rupanya lelaki budiman yang menolongnya adalah iblis yang tak rela dosa-dosanya diampuni semuanya.
Itulah iblis, tidak pernah senang Hamba Allah mendapatkan ampunannya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: Al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015