Oleh: Arif Siddiq Razaan
LELAKIKU, engkau tahu apa yang kupikirkan setiap kali hujan tiba? Sederhana saja, pada tiap tetesnya kutemukan kenangan perihal kita. Sekian waktu aku menunggumu untuk sebuah kepastian cinta, namun segalanya sia-sia. Selalu engkau hadirkan ujaran-ujaran baru agar diriku tetap bersetia, hingga dirimu memilki kesiapan berumah tangga.
Timbul tanya bukankah selama ini kita berproses bersama, bukan cuma dirimu yang berusaha mendewasakan diri agar memilki kesiapan berumah tangga, tetapi diriku juga. Jika diriku saja sudah sanggup menjadi istrimu dengan segala penerimaan cinta, lalu mengapa dirimu meragukan kemampuanmu sendiri untuk menjadi pemimpin dalam keluarga?
Padahal dalam berbagai kesempatan dirimu berkata, derajat laki-laki itu lebih tinggi daripada wanita. Apakah tidak menjadi semacam guyonan jika nyali laki-laki tak lebih besar dari wanita? Engkau mesti tahu selama proses menunggumu, diriku sudah bergiat kerja agar mampu menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga. Aku belajar dari mana saja bagaimana cara memuliakan suami dan anak-anak tercinta.
Aku juga sadar dengan sepenuh jiwa bahwa ada ‘pertarungan nyawa’ saat proses melahirkan buah hati kita nantinya, serta perlunya memahami secara seksama menyangkut etika terhadap mertua. Namun, tersadar aku, untuk apa melakukan ini semua jika lelaki yang kuharapkan menjadi imam rumah tangga masih seperti bocah balita. Menentukan sikap agar bersegera menikah agar terbebas dari potensi berbuat zina masih dalam lahir dan pikir masih belum dicerna.
Dirimu tak lebih dari seorang lelaki pengidap lemah syahwat dalam urusan menyempurnakan separuh agama. Hanya unggul dalam bualan namun tertinggal jauh dalam kerja nyata, masih senang main-main agar disebut kawula muda padahal usia sudah melebihi angka dua puluh lima.
Jadi tak ada alasan untuk mempertahankanmu lebih lama, aku sudah letih mengasuhmu agar bisa dewasa serta memilki kesanggupan berumah tangga. Mohon maaf, kita cukupkan hubungan sampai di sini saja. Teruslah menjadi bocah balita meski secara umur dirimu telah menua. Sebab aku percaya ‘kedewasaan bukan semata ditentukan dari usia, tetapi juga dari kematangan berpikirnya’.
Aku berdoa, setelah kepergianku dirimu akan segera beranjak menjadi dewasa. Bukankah kadangkala kedewasaan bisa datang karena suatu keadaan memaksanya. Belajarlah dewasa setelah perpisahan kita dan temukanlah wanita lain yang bersedia jadi pendampingmu dalam membina mahligai rumah tangga.
Aku sudah tidak yakin proses penyembuhan lemah syahwat dalam urusan menyempurnakan separuh agama yang dirimu derita dapat sembuh seketika. Itu butuh terapi khusus dengan ramuan kesadaran jiwa raga bahwa sejatinya cinta bukan berbilang lamanya pacaran tetapi kesadaran mengukuhkannya dalam rumah tangga. []