Oleh: Muakhor Zakaria
Dosen Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro, menulis esai dan prosa di berbagai media luring dan daring
zakariamuakhor@gmail.com
“TIDAK ada jalan lain untuk mengalahkan keturunan Ismail, yang kemudian menamakan dirinya sebagai pemeluk “Islam”, kecuali kita semua harus mampu mengungguli kualitas spiritual mereka.” Inilah pengakuan seorang Rabi Yahudi (Yitzchak Breitowitz) di kanal YouTube beberapa waktu lalu. Dia mengakui, bahwa umat Islam memang sulit dikalahkan. “Bagaimana kita sanggup mengalahkan komunitas masyarakat yang siap berkorban, bahkan siap menyambut datangnya kematian kapanpun dan di manapun. Sementara, keturunan Yakub (Yahudi) tidak memiliki tingkat keberanian yang setangguh itu?” ujar sang Rabi.
Sementara itu, kualitas spiritual kaum Yahudi (Bani Israel) yang ditunjukkan tokoh Shindler dalam film garapan Steven Spielberg (Shindler’s List) tampak mempunyai kecenderungan yang berlebihan pada kepemilikan dan kekuasaan ekonomi, yang diidentikkan oleh Yuval Noah Harari (Homo Sapiens) sebagai makhluk pemburu dan pengumpul. Sedangkan, konsep manusia sebagai hunters dan gatheres telah diperingatkan oleh Alquran, bahwa tipikal semacam itu kelak akan dibakar hatinya yang keras itu, ke dalam neraka Huthamah (surah al-Humazah: 1-9).
Secara implisit dapat diartikan, bahwa tidak ada karunia sebanyak apapun yang bisa dirasakan kenikmatannya, jika manusia tidak pandai mensyukurinya. Juga tidak ada hukuman terberat yang menimpa manusia, kecuali jika Tuhan sudah berpaling dan meninggalkannya. Lalu, siapa yang menjamin marwah dan kemuliaan seseorang akan abadi, jika Allah membiarkan aib dan keburukannya terbongkar di mata khalayak?
BACA JUGA: Pasti Gagal, Apapun Rencana Jahat Penjajah Israel
Untuk itu, seseorang bisa saja hidup mewah dan glamor, menyandang harta dan segala popularitas, hingga banyak orang menyanjung dan mengaguminya. Melalui ilmunya, ia dibiarkan meraih kunci untuk membuka pintu-pintu urusan duniawi. Tetapi, ketika Allah telah mengunci hati dan kalbunya, segala kemewahan dan kemegahan itu sama sekali tidak membawa kedamaian dan ketentraman batinnya.
Dalam buku Yuval Noah Harari (Homo Deus) ditegaskan, bahwa sejarah perburuan dan pengumpulan kekayaan dari zaman ke zaman, di setiap kelompok manusia (bangsa) diniscayakan untuk memenangkan segala persaingan politik, ekonomi maupun kebudayaan. Namun, dalam ajaran Islam, persaingan kemegahan yang bersifat duniawi dicirikan dengan karakteristik manusia yang gemar berghibah, mencela dan mengadu-domba. Allah mengancam orang-orang yang tak mau mengerem dan menghentikan nafsu eksplorasinya, hingga terus-menerus mengumbar syahwat untuk bersaing dalam kemegahan duniawi.
Sebagaimana kedatangan seorang laki-laki dengan wajah pucat, bertandang di kediaman sahabat Nabi, Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar membiarkan laki-laki itu masuk dan bertanya dengan wajah tegang, “Wahai Abu Dzar, kenapa kebanyakan kami ini merasa takut mati?”
Dengan suara pelan dan lembut, Abu Dzar menjawab, “Karena kalian begitu mencintai indahnya bangunan dunia, serta meruntuhkan bangunan negeri akhirat. Bagaimana mungkin kalian akan senang untuk berpindah dari bangunan megah kepada bangunan yang dianggap akan runtuh dan keropos?”
Lelaki itu merasa belum puas, dan katanya lagi, “Lalu, bagaimana pendapatmu tentang nasib kita di sisi Allah nanti?”
Abu Dzar menjawab, “Periksalah amal dan perbuatan kalian sesuai dengan tuntunan Alquran, sebab Allah pernah berfirman, sesungguhnya orang-orang yang taat dan berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, sedangkan orang-orang yang menentang dan ingkar (berbuat buruk), kelak ia akan berada di dalam neraka.” (Al-Infithar: 13-14).
“Kalau begitu, di manakah letak kasih sayang Allah?” protes lelaki itu.
“Sesunggauhnya kasih-sayang Allah sangat dekat dengan orang-orang baik.” (al-A’raf: 56).
Memperhatikan percakapan seorang lelaki dengan Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, selayaknya kita muhasabah dan bercermin diri, seberapa besar kecintaan kita pada bangunan negeri akhirat, sehingga kita berusaha untuk senantiasa merawat dan memperbaikinya selagi hidup di dunia ini. Jika kita masih direpotkan oleh urusan persaingan, sibuk bermegah-megahan dalam merancang bangunan duniawi, akankah bangunan itu dapat dibawa mati hingga ke liang lahat?
Mari kita koreksi dan berbenah diri, sampai kapan kita bersusah-payah memakmurkan kehidupan dunia dan mengabaikan kehidupan akhirat? Sampai kapan kita sibuk merancang bangunan dan mengejar target demi untuk mencapai popularitas dan pengakuan publik, hingga kita melupakan tempat tinggal yang abadi di negeri akhirat kelak?
Bukankah semuanya itu hanya titipan dan tipuan fana belaka? Bahwa harta dan anak-anak kita, prestasi dan pujian hingga kedudukan kita, bahkan kesalehan dan ketekunan ibadah kita, pada hakikatnya dikarenakan Allah memberikan tenaga dan kesempatan bagi kita untuk meraih dan mencapainya. Bukankah Yang Maha Suci yang layak mendapat pujian hanyalah Allah semata? Bukankah kemuliaan dan nama baik kita, pada hakikatnya lantaran Allah begitu sayang kepada hamba-Nya, hingga menutupi segala aib dan kesalahan kita?
Sementara itu, ideologi kaum Yahudi (bangsa Israel), dapat kita saksikan bersama bagaimana mereka hidup dalam lingkaran mukjizat, namun melalui perjalanan waktu, mereka akan mudah mengkhianati hakikat mukjizat yang pernah dirasakan dan disaksikan oleh mata-kepalanya sendiri.
Tercermin jelas dalam film garapan sutradara Daniel Myrick, “The Objective” (2008), tentang munculnya seorang agen CIA yang diperintahkan untuk bergabung dengan satu tim pasukan khusus Amerika, kemudian dilepas di tengah hamparan luas padang pasir Afghanistan. Mereka mempunyai misi untuk mencari seorang imam yang dikenal masyarakat sebagai seorang “wali” atau “sufi”, tetapi pihak Amerika menjulukinya sebagai seorang tokoh Taliban.
Konon, menurut para petinggi militer Amerika, Mohammad Aban memiliki banyak informasi perihal pergerakan rakyat Afghanistan, serta dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab dalam rangka pembebasan penduduk Afghanistan.
Namun masalahnya, pembebasan dalam arti apa? Pemerintah Amerika lagi-lagi berdalih dalam rangka memerdekakan rakyat Afghanistan, meski sulit juga dijelaskan, kemerdekaan dalam arti apa? Dapatkah suatu pemerintah negara lain, memaksakan kehendak dan penafsirannya tentang makna “kemerdekaan”, hingga kemudian bangsa lain dipaksa untuk ikut dan menuruti penafsiran yang sama?
Pemaksaan kehendak itulah yang membuat tim pasukan khusus berambisi dan terus merangsek, bereksplorasi untuk menelusuri tanah-tanah tak bertuan di tengah padang luas dan perbukitan. Misi mereka cukup jelas, untuk mencari informasi perihal keberadaan Mohammad Aban, yang bagi penduduk setempat dikenal sebagai imam besar yang memiliki derajat kewalian atau kesufian.
Namun, di tengah perjalanan menelusuri perbukitan, yang merupakan tempat sakral dan hanya boleh dimasuki atas seizin “penunggu” wilayah, tiba-tiba muncul kejadian-kejadian misterius di luar nalar dan akal sehat manusia. Sebenarnya, kejadian berupa tanda-tanda (signs) sudah berkali-kali diperlihatkan di hadapan mereka, tetapi sikap “penyangkalan” selalu didahulukan oleh pikiran rasional mereka. Misalnya, mesin kendaraan tiba-tiba mati, air minum berubah menjadi pasir, munculnya bayangan atau suara-suara sejenis azan, atau serupa pembacaan ayat-ayat suci Alquran.
Sikap penyangkalan terus mereka pelihara. Tanda-tanda semakin menguat diperlihatkan di hadapan mereka, seperti penerjemah dan pemandu mereka, tiba-tiba terserang depresi hingga kemudian tewas lantaran menjatuhkan diri dari bukit terjal. Penerjemah bayaran itu sebenarnya sudah dilarang oleh ibu dan kakeknya, tetapi ia bersikeras untuk bergabung dengan tim khusus lantaran tergiur oleh bayarannya.
Dan lagi, kejadian yang mencengangkan, beberapa anggota tim, tiba-tiba melihat sosok seorang imam yang sedang membisiki jamaahnya, padahal ia sejenis bayang-bayang fatamorgana. Dengan rasa kesal dan penuh amarah, dua orang tentara tiba-tiba mengamuk dan menembaki bayang-bayang itu, namun kejadian misterius diperlihatkan di hadapan teman-temannya, karena kedua manusia itu tiba-tiba “cling!” menghilang di hadapan mereka.
Kehilangan itu bukan karena kesasar atau sembunyi di balik bukit, tetapi hilang dalam pengertian riil, nyata, di hadapan mereka sendiri, bersamaan dengan munculnya cahaya dan suara-suara serupa ayat-ayat suci Alquran. Lalu, masihkah ada penyangkalan atas fenomena mukjizat (ma’unah) yang jelas-jelas terjadi di hadapan mata kepala mereka sendiri?
Sesungguhnya, wilayah teritorial yang menjadi kekuasaan penduduk setempat bersama imam besar yang memimpinnya, tak beda jauh dengan fenomena Gaza dan Baitul Maqdis, yang tak henti-henti diserbu dan diperangi, namun mereka tetap kesulitan untuk menguasai wilayah tersebut. Mereka sebenarnya sadar ada “kekuatan lain” yang tak terjamah oleh nalar dan pikiran rasional. Kekuatan itu senantiasa melindungi, mengamankan dan melestarikan. Bukankah di dalam Alquran sudah termaktub kesucian tiga wilayah yang djamin keamanannya oleh Allah, yakni Masjidil Haram (Mekah), Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjidil Aqsha (Palestina). Masihkah mereka berupaya keras untuk mengadakan penyangkalan?
Yang tidak kalah menarik dari film “The Objective”, justru karena ia tak memberi penjelasan mendetil perihal hilangnya tim khusus itu satu persatu. Apakah cahaya itu sejenis makhkuk luar angkasa (alien)? Ataukah sejenis penemuan teknologi laser yang dirancang petinggi militer Rusia atau Amerika sendiri? Kenapa kemunculannya selalu dibarengi suara-suara serupa ayat-ayat suci Alquran?
Setelah agen CIA, Keynes (Jonas Ball) lebih bijak dan arif menelusuri fenomena tersebut, ia seakan memahami, bahwa tim pasukan khusus yang dikerahkan di wilayah Afghanistan itu, bukanlah memulai dengan niat-niat baik dan tulus, melainkan diam-diam punya maksud terselubung untuk menangkap dan membunuh Mohammad Aban, hidup ataukah mati. Ini bukanlah misi biasa yang harus mereka selesaikan, melainkan suatu upaya pembunuhan atas tokoh penting Afghanistan yang telah dibentuk oleh elit militer Amerika dan CIA.
BACA JUGA: Kerapuhan Internal Penjajah Israel
Serangkaian kejadian aneh tak masuk akal, yang dilihat Keynes dengan mata kepalanya sendiri, semakin membuka mata hatinya, bahwa perburuan atas tokoh religius itu, memang suatu tindakan yang tak beradab dan tak manusiawi. Pada akhirnya, para pemburu yang kemudian menjadi “buruan” itu, harus introspeksi dan sadar-diri, bahwa tak ada pilihan lain selain mereka harus angkat kaki meninggalkan area maut yang sarat dengan kekuatan supranatural itu. Kalau tidak, mereka semua harus menanggung risikonya sendiri, atau nyawa mereka akan melayang sebagai akibatnya.
Itulah yang dikatakan Rabi Yahudi di atas, bahwa sosok Musa harus mengatasi spiritualitas Firaun untuk dapat mengalahkannya. Jika Firaun dihadapi dengan keangkuhan dan kesombongan yang sama, ia akan sulit ditaklukkan. Sebab, kekuasaan, kekayaan, dan mistisisme (pengaruh sihir) berada dalam genggaman Firaun. Maka, perjumpaan Musa dengan Nabi Khidir di pesisir laut, dapat menciptakan aufklaerung (pencerahan) serta peningkatan spiritualitas Musa. Sampai kemudian, mukjizat Tuhan datang ketika ia sangat membutuhkannya.
“Musuh terbesar kita adalah keturunan Ismail,” tegas Sang Rabi Yahudi, “tetapi, bagaimana mungkin kita dapat mengalahkan suatu keturunan (kelompok) yang tingkat spiritualitasnya lebih tinggi di atas kita?” []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter. Redaksi berhak melakukan editing terhadap naskah tanpa mengubah maksud dan tujuan tulisan.