KEGELISAHAN wanita berusia 28 tahun ini membawanya kepada perubahan hidup dengan drastis. Sekitar 2006 silam, Vina perempuan asal DKI Jakarta memutuskan untuk memeluk agama Islam. Ia mengenal Islam dari ayah kandungnya sendiri, yang juga merupakan seorang mualaf sejak tahun 1990-an.
Vina mengakui sekitar tahun 2003, dia berada dalam down, agama yang dianutnya kala itu sebetulnya tidak ia jalankan dengan baik. Bahkan, ritual-ritual ibadahnya tidak pernah ia jalankan. Pada saat itu sebetulnya Vina sudah mengetahui tentang ritual ibadah agama Islam dan hal itu masih sebatas ia jadikan untuk have fun.
Kala itu, ayahnya mengingatkan kepadanya agar beragama dengan baik dan benar. Ia menjelaskan bagaimana perjalanan sebelum mengucapkan syahadat secara resmi, sebetulnuya ia sudah menunaikan shalat dan bersyahadat dihadapan ayahnya. Dengan detail ayahnya membimbing untuk mempelajari Islam. Dan pada akhirnya Islam membuat dirinya sangat begitu special. Dari mulai tata cara berwudhu, shalat dan lainnya.
Selama proses pengenalan dan mempelajari Islam inilah akhirnya ia memutuskan berpindah keyakinan. Banyak rintangan yang ia hadapi, mulai dari lingkungan kerja sampai pertemanan, terutama rintangan yang datang dari keluarganya, meski tidak dimusuhi atau sampai diusir.
“Di situ titik balik saya mencari tahu tentang Islam. Tahun 2003, saya mencari, belajar, memahami (Islam) dan syahadat pada tahun 2006 saat lulus SMA di Masjid Lautze, Jakarta,” ujarnya.
Sampai sang ibu pun mempertanyakan pilihannya. Meski begitu, Vita mengaku heran dengan sikap ibunya sebab tidak ada yang salah dengan Islam. Rintangan pun terus berdatangan, dengan pemikirannya yang terkadang terlintas bahwa banyak yang tidak suka dengan Islam ketika ia memutuskan menjadi seorang mualaf.
Ada ujian paling berat yang Vina hadapi kala itu, yaitu saat sosok yang menjadi panutan dalam belajar Islam, meninggal dunia. Ya, moment kepergian ayahnya menjadi pukulan yang berat untuknya.
“Beberapa tahun terakhir sangat berat. Saat saya memutuskan menjadi mualaf, saya memang harus punya agama. Apalagi, bapak bilang agama yang diridhai itu Islam. Bapak memberi wejangan kalau kamu masuk Islam jadi mualaf jangan pernah keluar dari Islam. Hanya bapak yang mendukung saya,” ujarnya.
Teman-teman di Masjid Lautze memberikan dukungan untuk Vita seiring ketika Vita berada dalam kondisi yang berat, termasuk di Mualaf Center Baznas dan guru mengaji. Hal itulah yang menjadikan suntikan semangat di kala semangat sedang tidak stabil.
“Selama 14 tahun jalan (proses) naik turun. Kalau gak kuat-kuat ingin melambaikan tangan (menyerah). Namun, selalu dikembalikan dengan dulu saat berproses sejak awal,” katanya.
Nikmat yang berlimpah seolah berdatangan Allah limpahkan saat ia memutuskan untuk menajdi seorang mualaf. []
Sumber: Republika