ALLAH SWT telah menganugerahi manusia dengan perasaan dan kepekaan dengan hatinya. Orang menyebutnya sebagai hati atau hati nurani. Hati nurani ini memiliki suatu hubungan yang mengikatnya dengan otak-yang merupakan pusat kendali nalar dan logika, di mana ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah ia akan memperhitungkan dan memahaminya dengan logika dan perasaan. Namun, mereka yang keras hatinya hanya akan menggunakan akalnya saja tanpa nuraninya.
Hati dipercaya sebagai pusat kendali emosi, sementara otak sebagai pusat kendali segala aktivitas fisik dan nalar. Keduanya merupakan unsur terpenting yang mempengaruhi perilaku dan kebiasaan; termasuk menentukan apakah dia akan menjadi beriman atau kafir. Hati dan otak tidak akan bisa berfungsi secara maksimal tanpa ada saling interverensi antara keduanya. Pikiran akan jauh lebih tajam bila melibatkan emosi, dan emosi akan jauh lebih efektif bila melibatkan pikiran dan nalar. Adanya sifat saling menunjang antar kedua unsur kepribadian ini tergambar jelas pada firman Allah SWT dalam surah al-Hajj ayat 46.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada dalam dada.”
Ada banyak penelitian ilmiah yang telah dilakukan oleh para pakar psikologi tentang pengaruh emosi terhadap daya ingat (memori) manusia. Salah satunya dilakukan oleh James McGaugh, Ph.D., peneliti dari Universitas California di Irvine, bersama koleganya, Larry Cahill.
Dalam penelitian itu, dua kelompok mahasiswa diberi suatu zat yang menghambat pengaruh-pengaruh adrenalin dan nonadrenalin, kemudian diperhatikan kepada mereka dua belas gambar adegan dalam bentuk slide. Kepada kelompok pertama diceritakan sebuah kisah biasa yang berhubungan dengan gambar kisah itu: anak laki-laki dan ibunya mengunjungi ayahnya, yang ahli bedah. Kepada kelompok kedua diperdengarkan sebuah kisah kecelakaan yang dramatis dan ramai: anak laki-laki tabrakan mobil-seorang ahli bedah berusaha menyambungkan kembali tulang kaki si anak yang patah.
DUA minggu kemudian, para partisipan penelitian diberi tes memori mengejutkan. Para mahasiswa yang diperdengarkan kepada mereka cerita “sehari-hari” yang biasa, memiliki ingatan yang buruk tentang isi kedua belas slide tersebut. Sementara kelompok yang telah mendengarkan kisah dramatis mengingat slide-slide itu lebih baik.
DALAM tes lainnya, para psikolog meminta sejumlah orang mendengarkan suatu daftar kata-kata, termasuk beberapa kata yang bermuatan emosi, seperti mayat, dan pemerkosa. Para partisipan mengingat kata-kata yang “emosional” lebih baik dari pada kata-kata yang netral. Dalam pengertian lebih luas, mereka juga mengingat lebih baik suara mana yang telah mengucapkan kata itu-indikasi jelas dari kesadaran yang lebih baik/meningkat akan peristiwa-peristiwa terkait.
Dari beberapa hasil penelitiannya, James McGaugh, Ph.D., menyatakan, “Kita percaya bahwa otak memanfaatkan bahan-bahan (zat-zat) kimia yang dilepaskan selama stres dan emosi-emosi yang kuat untuk mengatur kekuatan menyimpan memori.”
Robert Sylwester, profesor pendidikan Universitas Oregon mengatakan, “Tidak mungkin memisahkan emosi dari aktivitas -aktivitas penting kehidupan. Jangan pernah mencoba memisahkannya!”
Hati sebagai sumber emosi, memiliki peran yang sangat penting dalam proses penguatan pikiran dan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami informasi yang berasal dari luar dirinya. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama, lebih banyak persambungan saraf yang berjalan dari pusat emosional limbik ke korteks intelektual, ketimbang sebaliknya. Maka, faktor emosi lebih kuat memengaruhi perilaku kita daripada logika.
Kedua, sistem limbik/emosional bekerja layaknya sebuah saklar, yang mengirimkan informasi yang masuk (datang) dari pancaindra ke bagian korteks yang berpikir. Namun, ada suatu “jalan pintas” yang mengirimkan informasi bermuatan emosi yang mungkin bisa mengancam-bukan “ke atas” untuk analisis, tetapi langsung “ke bawah”menuju bagian-bagian otak yang lebih primitif untuk sebuah reaksi “isi perut.”
Hal terakhir ini menjelaskan mengapa situasi-situasi yang sebelumnya menyebabkan rasa sakit atau rasa takut dapat menyebabkan reaksi-reaksi “sentakan kaki” yang keras dan refleks. Seperti ketika melihat sebuah benda melingkar yang tampak seperti seekor ular, kemungkinan besar ia akan direaksikan secara refleks, sekali pun jika kita selidiki lebih seksama benda itu ternyata hanya seutas tali rami yang tidak berbahaya sama sekali.
Bila kita kembali kepada kalimat penyesalan orang-orang kafir di neraka seperti pada sulah al-Mulk ayat 10, yang berbunyi,
لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan [pengertian itu], niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” Kita bisa menilai proses melihat dan memahami yang mereka lakukan hanya melibatkan unsur logika saja, tidak melibatkan emosi. Sehingga apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, sedikit pun tetap berada dalam kekufuran hingga akhir hayat. Wallahu a’lam. []
Sumber: Kerajaan Al-Qur’an/Hudzaifah Ismail/Penerbit: Penerbit Almahira/2012