Oleh: Daud Farma
LIHATLAH dia, badannya bau, rambutnya gondrong dan beluwek. Sudah ratusan hari tak disisir, bajunya bagaikan orang habis menyurup ke dalam lumpur, kotor berwarna hitam dan compang-camping. Telah lama sekali air tidak menyentuh tubuhnya, jangankan menyuruhnya mandi, kamar mandi pun ia tak punya. Semenjak ia berpenampilan begitu ia tak pernah lagi tahu bahwa air juga dapat digunakan untuk mandi. Dia taunya bahwa air hanya satu manfaat baginya yaitu untuk menghilangkan dahaga saja.
Setiap aku melangkauinya, ia selalu bersuara, tapi orang-orang tidak pernah mau mendengar suaranya. Ia sendirian, kesepian, terlantar dan dibiarkan. Jangankan menyuruhnya pulang, ia sudah lama tidak tahu alamatnya. Ah jangankan alamat, dirinya saja ia lupakan. Dia tidak tahu siapa dirinya saat ini. Sesekali ia berteriak, menanyakan siapa dirinya sebenarnya? Menanyakan siapa saudaranya? Menanyakan dirinya sendiri sedang berada di negeri apa? Siapa penguasanya?Apakah ia waras? Aku tak tahu.
Ia menatap ke jalan jalur dua itu. Kendaraan lalu-lalang, ribuan mata bergantian melihatnya, ia disantun? Tidak! Syukur ada yang mau menatapnya lama lalu memberinya sepotong roti. Badannya kurus seakan hanya ada tulang, dagingnya? Dimakan cacing perutnya. Hanya tinggal menunggu malaikat maut saja. Setelah kau membaca eksplanasiku ini, kau dapat menyimpulkan mungkin dia adalah manusia yang telah hilang akal sehatnya, orang gila. Sejak kapan ada orang yang mau ngurusin orang gila? Apakah ia tidak punya saudara? Dia punya, tapi sejak ia begitu, semua orang yang mengenalnya melupakannya, tidak mengakuinya.
Mungkin orang-orang gila memang pantas dibiarkan begitu saja. Membengkalaikannya mandiri, dapat makan atau tidak, hidup atau mati, bukan urusan orang-orang yang masih punya akal! Barangkali hanya orang yang punya hati nuranilah yang mau unjuk rasa untuk mengasihinya. Aku? Sama sepertimu, Kawan, hanya melihat dan banyak omong saja! Tidak mampu mengurusnya. Baiklah, kali ini aku pribadi tidak ingin memaksakan diri dan memaksamu untuk simpati. Tapi…,
BACA JUGA:Â Jika Diminta Menjadi Imam Shalat
Lihatlah dia, seorang ibu tua, kata nenek sangat layak untuk julukannya. Badannya kurus, kulitnya sudah mulai gelegata, tapi tenaganya masih kuat, namun tak dapat berbuat banyak. Saban hari aku melihatnya, ia membawa tabung gas dengan alat roda yang muatannya satu tabung gas saja. Ya dia jugalah penjual tukar tabung gas keliling seberat 25 kg itu. Ketika tabung gas di rumah kami habis, aku mendengar suara pukulan tabung gas lewat. Kupanggil, beliau melihat-lihat ke sekeliling, mata dan telinganya mencoba menemukan asal suara. Panggilan ketiga barulah nenek itu menangkap suaraku dari lantai tujuh. Ketika kulihat wajahnya, aku membatalkannya, tidak jadi aku beli karena tak mungkin nenek itu kusuruh membawanya naik ke lantai tujuh dengan menaiki seratus tiga belas anak tangga, extrim sekali! Haruskah aku menjemputnya ke bawah? Aku sendiri memilih membayar orang daripada harus mengangkat tabung seberat 25 kg itu naik ke laintai tujuh.
Andaikan kupaksakan, tulangku bengkok, jantungku berdetak kencang tak menentu, nafasku tersendat-sendat, seakan habis meraton seribu kilo meter. Lalu segera kukatakan pada beliau bahwa aku tidak jadi beli, kulihat beliau sedikit kecewa. Berawai padaku yang masih muda, tapi tak punya tenaga! Sambil berlalu beliau memukul tabung gas itu lebih keras.
“Duh, maafkan aku Nek!” suara hatiku. Nenek itu masih kenal dengan mata uang negaranya. Matanya masih menyala, pikirannya masih sehat dan staminanya masih kuat. Setiap aku melihatnya, aku sering bertanya pada diriku sendiri, dalam hatiku tentunya: kemana saudara nenek-nenek ini? Tidak ada kah anak atau cucunya yang bisa menemaninya menarik tabung gas itu? Apakah ia senasib dengan orang gila yang kusebutkan tadi? hal ini pun masih dapat kuterima alasannya bahwa nenek itu memilih jalan hidupnya sendiri.
Tapi katanya negeri ini adalah negeri wisata yang punya pemasukan uang yang banyak, apakah jumlah nenek-nenek seperti yang aku lihat itu lebih banyak dari para pelancong yang keluar-masuk ke dalam negeri ini? Sehingga negeri ini tak mampu lagi memberinya santunan walau hanya satu permen? adakah koruptor di negeri ini? Kalau ada, mungkin para koruptor telah melahap bagiannya, nenek itu tinggal membuang sampah permennya ke tong sampah sedangkan isinya ia tidak pernah merasakan rasanya seperti apa? Apakah sekejam itu koruptor di negeri ini? Lantas bagaimana dengan negeriku Indonesia? Lebih kejam lagi koruptornya! Lalu..,
Lihatlah dia, seorang kakek pembuang sampah. Satu minggu sekali ia datang ke rumah kami di lantai tujuh untuk mengambil sampah yang sudah kami letakkan di depan pintu untuk dibuang ke tong sampah yang cukup jauh di sana. Bukan rumah kami saja, puluhan rumah mahasiswa lainnya juga ia datangi. Meskipun kami membayarnya tapi melihat dari usia dan tenaganya sudah tak layak lagi ia yang menghidupi dirinya sendiri, mestinya di saat seperti inilah anaknya yang menolongnya. Atau mungkin istrinya masih hidup? Wah kakek itu benar-benar lelaki yang tanggung jawab!
Kulihat bungkuk-bungkuk ia memikul pelastik sampah yang beratnya hampir sepuluh kilo gram. Sampai di lantai bawah kudengar batuknya dari lantai tujuh, barulah aku menutup pintuku. Kalau aku tidak kasihan, sudah lama aku menyuruh orang lain untuk kami bayar membuang sampah rumah kami, namun bukankah itu adalah usaha satu-satunya yang ia mampu? Yang ia tahu? Yang ia miliki? Hummm, begitulah hidup. Kemudian lihatlah dia…,
Seorang anak berusia lima tahun mengepel lantai rumah kami. Seminggu sekali ia mengetuk pintu rumah kami meminta diambilkan air dari kamar mandi untuk disiramkan di tangga dan ia mengepelnya. Dia ditemani seorang adiknya yang berusia tiga tahun. Ibunya? Ada bersamanya, juga mengepel bersamanya. Rambutnya ikal, pakaiannya kumal, nunggu hari raya idul adha baru bisa diganti sebab idul adha ada sedikit santunan. Kalau ia tidak bersama ibunya, sejak ia mengetuk pintu kami, sebelum ia minta air-sudah kuberikan uang duluan dan menyuruhnya pulang, tidak perlu membersihkan tangga. Tapi ia bersama ibunya, begitulah cara ibunya mencari nafkah. Meskipun di negerinya sendiri setaunya banyak sekali pekerja yang berdatangan kemari dan bekerja sebagai pembersih.
Bedanya: orang asing digaji dengan dollar perbualnnya sedangkan ia asli pribumi hanya digaji lima pound persatu platnya dan hanya seminggu sekali. Untuk membersihkan satu plat rumah anak tangga ia menghabiskan waktu lima belas menit. Kenapa gajinya tidak dollar? Tidak profesionalkah ia bekerja? Tidak rajin kah ia mencari nafkahnya sendiri? Sudah hilangkah kepercayaan orang kaya negerinya untuk memperkerjakannya di rumahnya? Humm begitulah hidup, beda orang beda tangtangan, beda orang beda nasibnya. Terus…,
Lihatlah dia, seorang nenek lanjut usia sebagai penjual cabai, tomat, kentang, wortel dan sayuran lainnya. Dia datang sebelum penduduk Mesir terbangun dari alam tidurnya. Dia menyusun jualannya di tempat ia selama ini jualan: di bawah pohon tua yang sekarang tak sarat daun. Sejak pagi hingga pukul sepuluh malam ia berada di situ, menunggu pembeli lainnya. Namun tidak ada yang membeli. Datang satu dua dan tiga orang hendak membeli.
“Cabai merah satu kilomya berapa Pound, Nek?”
“25 Pound.” sahutnya lesu, lelah menunggu. Hanya sampai bertanya dan pembeli beranjak pergi, tidak jadi membeli.
Nenek itu dia dan menatap punggung pelanggan yang meninggalkannya. Dia adalah nenek yang mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa mata uangnya kalah telak sebab kenaikan dollar! Ibu-ibu mengeluhkan jualannya, mengeluhkan cabai dan tomatnya yang amat mahal! Salahkan nenek itu? Tidak salah! Sebab dia juga membeli dari orang lain untuk ia jual kembali, menanam? Di mana hendak ia tanam di ibu Kota Kairo yang tandus ini? Dipadati dengan rumah? Jangankan sepetak tanah untuk menanam sayur, satu meter tanah kosong pun ia tak punya! Tapi herannya nenek itu setia menunggu hingga pukul sepuluh malam.
“Tidak kah nenek itu mengantuk?” tanyaku dalam hati saat melewatinya sehabis pulang dari mengaji. Nah sekarang lihat jugalah dia…,
BACA JUGA:Â Suami Jarang Beri Nafkah Batin, Apa Boleh Minta Cerai?
Lihatnya dia, seorang ibu paruh baya. Berseragam serba hitam. Berkerudung dan berpenampilan seperti emak-emak lainnya. Usahnya menjual tisu. Sering ketika ia mengulurkan tisunya, banyak dari kalangan mahasiswa tidak mengambilnya tapi malah memberinya uang dan seketika ibu paruh baya itu mendoakan orang yang memberinya uang. Baiklah, aku akui ada beberapa peminta di tempat lain yang jadi orang kaya.
Di negeriku misalnya, ada orang dari minta-minta ia bisa menghasilkan puluhan juta. Tapi kita tidak boleh berburuk sangka pada semua peminta, kalau pun memang ia demikian, itu urusannya dengan Tuhan. Ketahuan atau tidak ketahuan, urusan lain dan tak perlu dirisaukan. Ibu paruh baya itu duduk di pinggir jalan tanpa beralaskan apapun. Terkadang ketika orang-orang sepi, tidak banyak yang melintas di depannya, hanya aku kebetulan yang melewatinya, kulihat tangannya memegang alat tasbih. Ibu jari dan telunjuknya sedang memutar satu bulatan demi bulatan tasbih tersebut. Mulutnya komat-kamit, kutahu ia sedang berzikir pada-Nya.
Mau musim dingin, panas, kemarau dan musim gugur, segala musim, ibu paruh baya itu tetap di tempatnya. Di mana ia tidur? Terkadang ia tak terlihat tidur di mana?, sebab aku tidak menyelidikkinya. Dan terkadang ketika suhu 15 derajat celcius, musim dingin waktu subuh, ibu paruh baya terbaring di pinggir jalan itu, tanpa selimut tebal seperti kami yang tertidur pulas di atas pulau kapuk yang empuk di dalam gedung rumah yang mewah. Mungkin ibu paruh baya itu sangat yakin dengan kekuatan kalimat yang orang-orang negerinya sering mengatakan: Lima Menit Lagi. Ya bahkan ibu paruh baya itu sendiri berkata demikian, lima menit lagi!
Lima menit lagi adzan subuh akan dikumandangkan, lima menit lagi mentari akan terbit, lima menit lagi akan banyak orang yang memberinya santunan, lima menit lagi akan ada orang kaya yang dermawan memberinya makan, lima menit lagi para koruptor akan melintas di depannya, mengakui kekhilafannya lalu memberikan haknya. Lima menit lagi semuanya akan berlalu. Lima menit lagi semuanya akan tua, lima menit lagi malaikat maut siap mencabut nyawa.
Ibu paruh baya itu tetap menjalani hidup sebagai peminta-minta, demi satu roti gandum (‘iys) satu gorengan tho’miah, satu pound ful, satu telur rebus, satu cabai pedas, dan satu terong matang. Adapun seteguk air minum, ia bisa dapatkan dari tempat air minum umum yang tersedia 24 jam, atau dari air keran di kamar mandi masjid yang buka pada waktu shalat saja. Sudah tidak ada lagi berkata iri pada mereka yang sering makan daging, ia sabar menanti gilirannya, setahun sekali ketika hari raya kurban. Mungkin hanya setahun sekali ia merasakan daging seperti orang lainnya.
Mereka-mereka itu adalah cermin caraku mensyukuri nikmat Allah Subahanahu Wata’ala. Dengan melihat nasib mereka, aku bersyukur, aku yang masih bisa merasakan nimat-Nya yang lebih baik daripada mereka-mereka itu.
Ini adalah suara dari mereka yang tak pernah bersuara. Mereka bersuara tapi mungkin tak ada yang mau dengar. Bukan berarti mereka bisu, tapi tidak ada yang mau merayu dan ingin tahu isi hati mereka. Semoga ada banyak orang baik yang mau mendengarkan.
•Semua kejadian ini, kutemukan di sekitar Kairo, tempat aku menimba ilmu.
#mari bersyukur.
*Darrasah-Kairo, 16092017.