DI antara umat Islam ada yang enggan berobat lantaran ada asumsi bahwa berobat berarti tidak rela menerima ketentuan dan cobaan Allah dan karena itu tidak berobat lebih utama. Di sisi lain, banyak pula ulama Islam mengembangkan ilmu pengobatan dan kedokteran yang mengutamakan pengobatan. Memang, hukum berobat diperselisihkan menjadi lima pendapat, yakni wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Pertama, pendapat yang mengharamkan dan memakruhkan berobat dengan alasan bahwa berobat berarti menentang takdir Allah. Pendapat ini tentu saja keliru karena Nabi Saw telah memerinahkan beobat dalam hadist yyang diriwayatkan oleh Usman Ibn Syarik:
“Berobatlah kalian!, karena Allah tidak menciptakan penyakit kecuali juga menciptakan obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Saw tentu tidak memerintahkan sesuatu yang haram atau makruh, dan tidak ada perselisihan mengenai hal ini. Dengan demikian, pendapat ini telah gugur dan tidak beralasan.
Kedua, pendapat yang mewajibkan berobat dengan alasan hadis di atas. Perintah tersebut diartikan sebagai suatu kewajiban. Pendapat ini juga jauh dari kebenaran. Sebab, diriwayatkan hadist dari ‘Atho’ bin Abi Bah, ia berkata:Aku pernah ditanya oleh Ibn ‘Abbas, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita penghuni surga? Kujawab, “Baiklah.” Ia berkata, “Wanita berkulit hitam dulu pernah dating kepada Nabi Saw lantas berkata, ‘Aku mengidap ayan, sedangkan auratku sering terbuka. Berdoalah kepada Allah untukku’.” Beliau bersabda, “Jika mau, bersabarlah dan engkau akan memperoleh surga, tetapi jika tidak, aku akan mendoakanmu sehingga Allah memberikan kesehatan kepadamu.”
Wanita itu berkata, “Aku akan bersabar. Akan tetapi, auratku sering terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku, supaya auratku tidak terbuka.” Beliau pun mendoakan wanita itu. (HR Bukhari dan Muslim)
Ketiga, sekarang tinggallah pendapat yang menghukuminya sunnah dan mubah. Pendapat jumhur ulama berkisar pada kedua pendapat ini. Adapun yang menghukuminya sunnah adalah pendapat para ulama madzhab Syafi’I, karena hadist tentang wanita berkulit hitam telah memalingkan makna perintah pada hadist, “berobatlah!”, dari hukum wajib kepada sunnah. Tapi, pendapat ini bisa dibantah bahwa Nabi Saw menetapkan adanya pahala bagi wanita yang tidak berobat, sedangkan meninggalkan suatu perbuatan yang disunnahkan, tentunya tidak mendapatkan pahala. Jika hukum berobat adalah sunnah, tentunya hukum meninggalkannya adalah makruh.
Keempat, sekarang tinggal pendapat yang menghukuminya mubah, yang memadukan seluruh dalil, tanpa kekurangan. Dan ini merupakan pendapat para ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Hukum berobat adalah mubah, meninggalkan sesuatu yang mubah, hukumnya juga mubah. Dengan begitu kita bisa mendudukkan hadist tentang wanita berkulit hitam dengan tepat, wanita tersebut melakukan sesuatu yang mubah, yaitu tidak berobat. Dan dengan niat yang baik disertai dengan harapan pahala kesabaran dari Allah, maka ia mendapatkan pahala. Dengan demikian, kita juga bisa memposisikan hadist-hadist tentang berobatnya Nabi Saw, karena Nabi Saw juga melakukan hal-hal yang mubah.
Jika ada yang bertanya, bagaimana kita mendudukkan hadist yang memerintahkan berobat, padahal sudah dimaklumi bahwa paling tidak suatu perintah itu menunjukkan hukum sunnah? Jawabannya adalah, bahwa perintah di sini tidak dimaksudkan untuk mensyariatkan sesuatu, melainkan sebagai pengakuan terhadap tradisi masyarakat. Manusia punya tradisi berobat, sedangkan orang-orang Arab Badui dating bertanya kepada Nabi Saw tentang hukum berobat, “Bolehkah kami berobat, wahai Rasulullah?” Seakan-akan mereka menyangka bahwa berobat itu bertentangan dengan syariat. Karena itu, Nabi Saw bersabda kepada mereka, “Ya.” Kemudian beliau menjelaskan bahwa berobat itu tidak bertentangan dengan tawakal. Beliau bersabda, “Demi Allah, Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menurunkan obatnya.” Dalam riwayat lain, “Ya, berobatlah, yakni sebagaimana tradisi kalian. Syariat tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan tradisi kalian ini.” Ini mirip dengan firman Allah Swt, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan!” Perintah makan dan minum dalam ayat ini bukan untuk mewajibkan, akan tetapi sebagai pengakuan terhadap tradisi makan dan minum yang sudah berlaku di masyarakat manusia. Juga mirip dengan firman Allah, “Makan dan minumlah, sampai terlihat jelas oleh kalian pebedaan antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.”
Dalil-dalil yang dijadikan alasan kebolehan melakukan pengobatan, termasuk ruqyah adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Auf Ibn Malik r.a. bahwa pada masa jahiliyah kami selalu melakukan ruqyah, lalu kami tanyakan kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, bagaimana tanggapan anda tentang hal itu?” Rasulullah menjawab, “Sampaikan kepada tukang ruqyah kalian, tidak ada larangan melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik di dalamnya. (HR Muslim)
Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik bahwa Rasulullah Saw memberikan kelonggaran untuk melakukan ruqyah dari penyakit korban tatapan mata, demam, dan fitnah (HR Muslim)
Diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah!” (HR Muslim)
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw apabila ada orang mengeluh kesakitan maka diusapnya dengan tangan kanannya seraya membaca doa: penyakit telah hilang ya Allah tuhan seluruh manusia, sembuhkanlah karena Engkau yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali atas izin Mu, berilah kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit. (HR Bukhari dan Muslim)
Kelima, dengan demikian, hukum berobat adalah mubah. Barangsiapa berobat, ia tidak berdosa, tetapi jika ia memiliki niat baik dalam berobat, disertai tekad untuk menyempurnakan ketaatan serta lebih giat dalam beribadah dan melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, maka ia diberi pahala. Adapun jika ia tidak berobat seraya bersabar dan ridha kepada takdir Allah dan dalam rangka meraih sesuatu yang lebih afdhal dan derajat tinggi di sisi Allah, maka ia diberi pahala atas tidak berobatnya. []