Oleh : Herman Apriadi, kerjaplusjihad.ha@gmail.com
“BENAR, ya … bulan depan, ya! Terima kasih Ayah. Imah sayang Ayah.”
Mencium tangan lalu memeluk Ayahnya manja. Itulah yang dilakukan Fatimah ketika permintaannya dikabulkan sang Ayah. Terlihat ia sangat bahagia.
“Iya, InsyaAllah. Sudah … sekarang kamu lanjutkan tulisanmu. Nanti yang pertama baca … harus Ayah, ya. Tidak boleh yang lain.”
“Siap, Ayah!” bak seorang Paskibra yang tengah menghadap merah putih. Jari-jari Fatimah melurus … menempel di ujung alis sebelah kanannya.
“Itu hormat, bukan siap.” Koreksi Ayahnya.
“Eh, iya …. ” setengah malu, refleks Fatimah menurunkan tangan. Ayahnya tersenyum melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan itu.
“Ayah, ” kata Fatimah, “nanti kalau novelku sukses … sesukses Asma Nadia, Tere liye dan penulis besar lainnya. Dan semoga saja … Aamiin,” Fatimah mengatakan itu sambil menengadahkan kedua tangannya lalu diusapkan ke wajah. Kemudian dia melanjutkan,
“aku pasti akan melakukan sujud syukur.”
“Bagaimana?” Ayahnya bingung dengan pernyataan Fatimah.
“Iya … aku akan sujud syukur.”
“Ada yang salah pada kalimatmu, Nak.”
“Salahnya di mana?” Tanya Fatimah heran.
“Sewaktu kamu meminta laptop baru tadi, kenapa kamu mencium tangan Ayah, lalu memeluk Ayah?”
“Ya … karena Ayah memenuhi permintaan Imah.”
“Laptopnya mana?”
“Kan bulan depan?”
“Kenapa tak bulan depan saja kamu cium tangan dan peluk Ayah?”
Fatimah bingung, masih belum mengerti apa maksud sang Ayah.
“Maksud Ayah, kenapa kamu lebih percaya Ayah daripada Allah? Kenapa kamu tidak memperlakukan Allah sama seperti kamu memperlakukan Ayah? Kenapa nanti sujud syukurnya?”
Fatimah mematung, tak berkata apa-apa.
“Fatimah anakku, ” lanjut Ayahnya, “sujud syukurnya sekarang saja, itu bukti kamu yakin Allah akan mengabulkan cita-citamu. Sama halnya kamu yakin Ayah akan memberikan laptop baru untukmu. Nanti, jika cita-citamu dikabulkan Allah, lakukanlah hal yang sama. Jika pun nanti tidak dikabulkan oleh-Nya, tetaplah begitu. Kan Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.”
Mata Fatimah mulai berkaca, ia mengerti sepenuhnya tentang apa yang dikatakan Ayahnya. Iya sadar baru saja melakukan dosa.
“Apakah nanti jika ternyata Ayah tidak bisa membelikan laptop baru … kamu tidak akan mencium tangan dan memeluk Ayah lagi?”
“Tidak, Ayah!” sambut Fatimah cepat, “itu tetap akan Imah lakukan … sampai kapan pun, selama Imah masih bernyawa.”
Yang tadinya hanya berkaca, sekarang mata itu benar-benar meneteskan airnya.
“Ayah yakin kamu akan melakukan hal sama pada Allah.”
Mengangguk … Fatimah tak mampu berkata lagi. Ayahnya tersenyum, lalu berpesan,
“Ayah yakin kamu berhasil. Yakinlah pada Allah … berkali-kali lipat … melebihi keyakinan kamu terhadap laptop yang kamu pinta.” []